19. Perasaan Ody

6K 889 43
                                    



Sebuah mobil terparkir di halaman rumah ketika Regan pulang dari restoran. Terdengar suara riuh dari dalam rumah. Setelah memarkir mobilnya di depan pagar, Regan turun dengan dahi berkerut. Temannya Kiki mungkin?

Dugaannya salah. Begitu sampai di ruang tengah, dia mendapati Ari dan Adit di sana. Regan yang sudah lama tidak bertemu mereka segera melepas ransel dan menghambur. Membuat ruang tengah itu rusuh. Kiki yang terinjak kakinya berteriak kesakitan.

“Kok pada nggak bilang-bilang kalau mau main ke sini?” Regan duduk, melepas rangkulannya di bahu Ari dan Adit.

“Gue tahu lo super sibuk.” Adit menjawab, “Jadi cuma ngabarin Kiki aja.”

“Sampai jam berapa tadi?”

“Jam lima-an,” jawab Ari.

Setelah mandi, Regan kembali bergabung di ruang tengah. Layar pipih di depan mereka menampilkan pertandingan Derby Manchester. Tapi terabaikan begitu saja. Keempatnya sibuk mengobrol. Apa saja. Mulai dari awal mereka bertemu, menjadi dekat, lantas bersahabat. Masa-masa mereka bertengkar. Ody. Maura. Ternyata hidup mereka sedramatis itu. Atau lebih tepatnya hidup Regan. Ketiganya hanya kena imbasnya saja.

Topik kemudian loncat ke masa-masa kuliah setahun belakangan. Adit ternyata sudah mendekati perempuan lain—teman sekelasnya—dan melupakan Riana. Untuk hal ini, Regan menahan diri untuk tidak melayangkan bogem ke Adit. Tapi di satu sisi, dia senang juga. Adit berarti tidak mengganggu Riana lagi. Regan hanya ingin Riana fokus sekolah dulu, dan tidak perlu pacaran.

Regan dan Ari lebih banyak tertawa, menanggapi. Tidak tertarik untuk ikut bercerita.

Kemudian Kiki yang mendominasi topik selanjutnya. Jadi ceritanya anak manja itu weekend kemarin naik gunung, diajak temannya yang ikut UKM Mapala. Regan sempat melarang. Takutnya anak manja itu malah merepotkan temannya yang lain. Tapi melihat tekad bulat Kiki, dia izinkan juga. Pulangnya, kulit Kiki hitam legam dengan penampilan berantakan—Regan hampir mengusirnya ketika muncul di depan pintu. Dia pikir orang gila yang nyasar. Kiki juga sempat hipotermia selama di tenda. Hampir saja lewat kalau dia memilih diam saja. Untungnya Kiki terlalu vokal dan terbiasa rewel. See, sering berkumpul dengan emak-emak sosialita cukup bermanfaat juga, ‘kan? Jangan hina dia lagi.

Ketika Kiki dan Adit sudah tertidur—lelah bercerita—di ruang tengah, Ari berdiri. Menepuk-nepuk celananya yang kotor kulit kacang. “Gue mau keluar bentar. Cari angin.”

Regan yang belum mengantuk melangkah ke dapur, membuat dua gelas kopi lantas menyusul Ari yang duduk di teras. Dia tidak kaget lagi ketika mendapati Ari merokok di teras. Dia tadi sempat melihat bungkus rokok di saku celana Ari.

Meletakkan dua gelas kopi di atas meja, Regan duduk di salah satu kursi.

Ari menyodorkan bungkus rokok ke Regan. “Rokok, Re?”

Regan menggeleng pelan. Dia mengambil gelas kopi miliknya, menyesapnya sedikit karena masih panas. Selama mengenal Ari, dia tahu sahabatnya yang satu itu adalah orang paling lurus di antara mereka. Ketika Regan senang membuat onar, Adit maniak rokok, Kiki maniak bokep, Ari memilih menjadi anak yang lurus. Regan? Dia mencoba merokok sekali, dan terbatuk-batuk. Kalau hanya menjadi perokok pasif, dia masih sanggup.

  “Yang ngajarin ngerokok siapa?” Regan meletakkan kembali gelasnya.

Asap mengepul dan bercampur dengan udara ketika Ari mengembuskan napas lewat mulut. Ari tersenyum tipis. Seharusnya Regan tanya kenapa dia merokok.

“Setahun ini gue berpikir banyak hal, Re.” Ari mengisap lagi rokoknya, lalu memenuhi udara di sekitarnya dengan asap. “Gue mikir apa yang udah gue lakuin selama empat tahun ini.”

J A R A K [2] ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ