16. Kartu Nama dan Sebuah Alamat

6.6K 907 164
                                    

Bab ini panjang, btw 😄


Regan sibuk lari, menempatkan segala resah dan sesak di belakang, dia berlari cepat. Berharap segala rasa yang mengganjal itu berhenti mengikutinya dan tertinggal jauh. Dia lantas menghindari semua orang. Mengabaikan ketika nama mamanya muncul di layar. Juga beberapa panggilan dari Ody. Sampai saat ini, dia belum ada rencana untuk pulang ke Jakarta. Lebih tepatnya, dia tidak punya waktu.

Dini hari itu, ketika Kiki pulas tidur, Regan bangkit dari kasurnya. Dia sudah berusaha memejamkan mata, memaksa tidur secepat mungkin, tapi gagal. Dia tetap terjaga, bahkan hingga sekarang. Badannya lelah, tapi dia sudah terbiasa. Kuliah dan bekerja. Itu pelarian yang menyenangkan. Dia jadi tidak punya waktu untuk duduk melamun. Dia sangka malamnya, ketika dia lelah, dia akan jatuh tertidur. Tapi tidak. Dia justru terjaga dan duduk di kursi teras, melamun, seperti sekarang.

Hampir satu tahun Regan tinggal di sini. Dan dia merasa nyaman. Perasaan bersalah yang selalu menghantui, perlahan terlupakan. Dia bisa mengobrol dengan hati yang ringan bersama Tante Dewi. Seakan dirinya ini bukanlah anak dari wanita perusak keluarga mereka. Sebaliknya, Tante Dewi menatapnya hangat. Dia sudah dianggap seperti anak lelakinya sendiri.

Lantas apalagi yang Regan khawatirkan?

Bukankah dia hanya perlu menjalani apa yang ada di depan mata? Dia nyaman bekerja di restoran. Tidak ada kendala yang berarti di kampus. Semuanya berjalan baik-baik saja. Tanpa dia sangka, dirinya bisa membagi waktu dengan baik. Seharusnya dia tidak perlu mengeluh lagi.

Dia sudah sempurna lari. Tapi hanya di tempat.

Regan salah ketika dia memilih lari, lantas semuanya akan terlupakan begitu saja. Dia pikir, mencari kesibukan akan mengobati segala sesak di dada. Untuk apa dia lari jauh-jauh? Pertanyaan itu ada di hatinya, bukan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Pertanyaan itu memang tenggelam di dasar hatinya. Tapi bukan tidak mungkin jika suatu hari nanti muncul ke permukaan.

Ponsel yang dia letakkan di meja, bergetar. Regan meraihnya. Lantas mengernyit begitu nama Papa Ardi muncul di layar.

Papa jarang meneleponnya. Lebih seringnya Riana yang menelepon, lantas Papa akan bergabung. Mereka akan mengobrol sebentar sebelum ponsel kembali ke Riana.

“Pagi, Pa.” Regan tersenyum. Meski tidak terlihat oleh lawan bicara.

“Kamu sudah bangun?” Namun Ardi segera meralat. “Ah, kamu belum tidur. Papa tidak salah waktu kalau begitu. Adriana bilang kalau pagi sampai malam kamu sibuk.”

   Ketika tadi melangkah keluar kamar, jam menunjukkan hampir pukul tiga dini hari. “Ada apa, Pa?” Regan bertanya langsung.

“Sehat-sehat, Re?”

“Sehat. Papa gimana?”

“Sama. Papa juga sehat.”

Keduanya terdiam sesaat.

“Lusa, bisakah kamu pulang, Re? Ada yang ingin Papa bicarakan.”

Regan memang libur lusa. Dia ingin menolak. Tapi seperti ada sesuatu yang penting. “Aku usahakan pulang, Pa.”

Sebelum telepon ditutup, Papa mengatakan kalimat ganjil. “Kamu tetap anak Papa, Re. Meski banyak waktu yang tidak kita lalui bersama. Meski tidak ada ikatan darah di antara kita, kamu tetap anak yang Papa tunggu kepulangannya. Meski banyak yang berubah. Tapi rumah ini, tetaplah rumahmu. Kamu adalah bagian dari kami, Re. Bahkan untuk Adriana, kamu segalanya.”

“Terima kasih, Pa. Bahkan sebenarnya aku tidak pantas memanggil ‘Papa’. Tapi aku sangat berterima kasih. Aku diterima dengan baik oleh kalian. Dianggap seperti keluarga.”

J A R A K [2] ✓Where stories live. Discover now