18. Perasaan Ari

6.2K 861 49
                                    

Masih ingat debar jantung ketika kamu melihat pujaan dari dekat?

Jangankan dari dekat, dari jauh pun, jantung pasti sudah menggila. Duniamu berporos pada sosok itu, tiba-tiba saja. Kita seperti punya radar untuk mencari keberadaan dia. Ketika nama dia tertangkap telinga, bahkan otomatis kita akan menoleh. Lalu, pada sosok itu, tanpa sadar dunia kita sudah termiliki.

Cara dia tersenyum membuatmu gila, bukan? Apalagi mendengar suara tawanya yang renyah. Ketika itu, kamu bisa apa selain membiarkan diri luruh dan jatuh pada pesonanya?

Lalu timbul keinginan seperti ini setiap hari: ingin melihat dia tersenyum dan tertawa. Dengan segala cara kamu berusaha untuk muncul di depannya. Atau paling tidak, bisa melihatnya dari kejauhan.

Lantas, selanjutnya timbul perasaan ingin memiliki. Kamu mulai tidak rela dia tersenyum untuk lelaki lain. Kamu tidak ingin membagi tawanya dengan yang lain. Kamu tidak lagi menatapnya dari jauh, tapi terus mencoba dekat. Sebisa mungkin hadir dalam tangkapan ekor matanya-membunuh jarak.

Apakah itu cukup? Apakah mendekat dan mengungkapkan perasaan cukup untuk membuat dia melihat kita? Apakah semudah itu perasaan berbalas?

Ari menumpukan kedua tangannya di pembatas gedung lantai tiga. Dari tempatnya berdiri, dia menatap ke satu titik. Ada beberapa kursi semen di depan gedung fakultas mereka. Ody duduk di salah satu kursi, bersama Rana yang sering datang ke kampus ini. Mereka terlihat seperti dulu ketika masih duduk di bangku SMA. Di mana ada Ody, pastilah ada Rana.

Mereka entah mengobrol apa, tapi Ody tertawa sejak tadi. Rana mencerocos bercerita. Lagi-lagi Ody tertawa hingga terpingkal. Dia juga mengusap sudut matanya yang mungkin berair. Selucu apa cerita Rana?

Empat tahun, Ody tidak berubah di matanya. Ody masihlah sama dengan Ody yang dia suka sejak kelas sepuluh.

Tepukan terasa di punggungnya. "Lagi lihatin siapa?"

"Oh, nggak."

"Ody, ya?"

Ari mengernyit. "Kok tahu?"

"Banyak yang naksir dia. Siangan lo banyak, Bro." Orang itu tertawa, bukan mengejek. Hanya prihatin.

"Siapa aja?"

Temannya itu hanya tersenyum. "Udah, yuk. Dosen yang gue cari nggak ada. Kita hampir telat masuk kelas."

***

Ari sering menyempatkan untuk pura-pura berpapasan dengan Ody. Padahal gedung kuliah mereka berbeda. Tapi setelah selesai kelas, Ari akan berlari mencari kelas Ody. Hari beranjak sore, dia tahu Ody tidak ada yang menjemput. Ari selalu memiliki kesempatan untuk mengantar Ody pulang-kalau kebetulan mereka sama-sama ada kelas sore. Tapi Ari tidak segila Ody dan Rana dengan ikut masuk ke kelas dengan risiko menjadi sorakan seisi kelas.

Maka dia memutuskan menunggu di luar kelas. Menyandarkan punggung di tembok, melipat kedua tangan ketika angin bertiup sedikit kencang. Seharusnya sekarang memasuki musim kemarau, tapi beberapa hari sekali hujan turun. Begitu kelas bubar, Ody sudah terlihat di ambang pintu, dia segera memanggil. Ody menoleh saat itu. Diiringi dengan senggolan lengan oleh teman-temannya. Ari mendengar mereka menggoda Ody.

"Pacar lo, Dy?"

"Kok lo ngaku jomblo?"

"Kenalin ke kita, Dy, kenalin!"

Lalu dengan sedikit kesal Ody menjawab, "Bukan. Gue duluan, ya."

Ari mendengar semuanya. Termasuk ekspresi risi Ody ketika teman-temannya ribut bertanya siapa gerangan yang memanggilnya.

J A R A K [2] ✓Where stories live. Discover now