4. Kejutan

7.4K 935 204
                                    

Ody mengeluh dalam hati untuk ke sekian sejak lima menit yang lalu.

Dia terjebak hujan di kampus.

Hujan lebat turun sejak kuliah sorenya dimulai, dan sampai sekarang—ketika kelasnya berakhir—hujan malah bertambah deras.

Ody menatap jam di tangan dengan sedih. Pukul lima sore. Langit sore semakin gelap karena hujan yang turun.

Mungkin besok-besok Ody akan minta dibelikan mobil saja. Mengandalkan Kinan untuk menjemput, juga tidak bisa. Maya apalagi. Dia sibuk dengan dunianya sendiri—arisan sosialita ke sana ke mari.

Ody tadi sudah memesan Gojek. Tapi tertolak begitu saja ketika Ody menyebutkan lokasi penjemputan. Dibalas begini oleh sang pemilik akun.

Cancel aja, Mbak. Jalanan depan kampus udah banjir. Mbak berenang aja.

Ody tidak bisa berenang!

   Oke, bukan itu masalahnya. Lagipula siapa juga yang akan menuruti saran konyol itu—yang sedikit masuk akal.

   Sementara sejak tadi Kinan tidak bisa dihubungi. Baiklah, Ody akan mencoba menelepon kakaknya itu sekali lagi. Pada sambungan ketiga, telepon diangkat. Akhirnya.

   “Mas, gue—”

   “Lo di mana, Dy? Gue kejebak macet, nih. Kalau mau nunggu, gue sampai kampus lo jam tujuh. Gimana?”

   “Ya udah deh, Mas. Gue nginep kampus aja.”

   “Pesan Gojek, Dek.”

   “Udah!”

   “Udah otw jemput?”

   “Gue disuruh berenang sama abangnya!”

   “Kok bisa?”

   “Jalan utama depan kampus banjir. Hueee.”

   “Pengin ketawa, dosa nggak?”

   “Beliin gue mobil, Mas!”

   “Gue lagi nabung buat ngelamar anak orang, Dy. Enak aja minta mobil. Nanti kalau gue udah jadi saudagar Arab, gue beliin mobil selusin kalau perlu.”

   “Muka lo nggak ada arab-arabnya, Mas. Kelakuan lo juga nggak pantas jadi orang Arab!”

   “Sialan emang. Untung sayang.”

   “Baek-baek sama gue, Mas. Ingat, cuma gue teman lo di rumah.”

   “Iya, iya.”

   Telepon Ody bergetar. Satu telepon masuk. “Mas, udah ya. Regan telepon nih. Mas hati-hati. Nggak usah jemput ke sini. Nanti hujan reda, gue cari taksi di depan.”

   “Ya udah, sana, kangen-kangenan dulu sama Regan.”

   Ody tidak sempat mengumpat. Karena suara Regan muncul di ujung sana.

   “Lagi di mana, Dy?”

   “Di kampus.”

   “Jam segini belum pulang?”

   “Belum.”

   “Mas Kinan nggak jemput?”

   “Re, jemput dong.” Ody merengek seperti orang yang dia ajak bicara ada di rumah, siap menjemput kapan pun saat diminta.

   Di ujung sana, Regan tertawa kecil. “Kalau aku di rumah, udah aku jemput dari tadi.”

   Ody menoleh, mencari kursi. Dia lelah berdiri. Sambil berjalan ke kursi panjang di sisi gedung, “sepi.”

J A R A K [2] ✓Where stories live. Discover now