26. Menyusuri Kenangan

5.1K 268 3
                                    

26.

Lagi-lagi Silver dan Ethan berjalan beriringan dalam diam, menuju danau yang tak jauh dari ladang anggur.

"Sepertinya kamu sudah melewati hari yang buruk tadi," setelah sekian lama diam karena asik sendiri menikmati pemandangan sore, Silverlah yang pertama membuka suara.

Ethan tersenyum samar, "Begitulah," jawabnya, sembari mengangkat bahu santai, "kadang aku tidak habis pikir, sebenarnya apa yang dilakukan suami kamu selama ini? Sampai para pegawai bertingkah seenaknya di kantor," dengus Ethan. Kembali merasa jengkel kalau teringat kejadian tadi.

Silver mengangkat bahunya, "Entahlah, aku tidak pernah tau masalah pekerjaan." Jawabnya, "Karna memang aku tidak mengerti," Silver terkekeh pelan, "Setahuku, Evan sudah bekerja keras karena hampir setiap hari dia pulang malam lantaran harus lembur menyelesaikan pekerjaannya di kantor."

Ethan mendengus tanpa sadar.

Menyelesaikan pekerjaan apa?

Bahkan, sepertinya Evan tidak pernah melakukan apapun setelah Ethan melihat semua laporan dari semua divisi di kantor tadi. Pantas saja pabrik Ayah mereka nyaris bangkrut. Dan semua itu semakin menguatkan kecurigaan Ethan pada saudaranya tersebut. Pasti ada sesuatu yang sudah disembunyikan oleh Evan darinya.

"Jadi, sejak kapan Evan selalu pulang malam karena lembur?" Ethan mulai bertanya, dia harus dapat mengorek informasi dari Silver masalah saudaranya itu, bagaimana pun caranya. Silver bukan tipe wanita yang bisa didesak, harus memakai cara halus untuk membuatnya bicara. Dan cara terbaik adalah membuatnya nyaman dalam obrolan.

"Entah," lagi, Silver mengangkat bahu, "aku tidak ingat tepatnya, yang jelas sudah berlangsung lama."

"Apa bertepatan dengan seringnya Evan menelpon wanita setiap malam?"

Silver menghentikan langkahnya tiba-tiba saat mendengar pertanyaan Ethan kali ini.

"Jangan salah faham," Ethan buru-buru menimpali ucapannya, sebelum Silver merasa tidak nyaman dan akhirnya mengakhiri obrolan mereka sebelum informasi yang Ethan mau dia dapat, "aku bertanya karena aku sedang mencari tau, apa sebab Evan menelantarkan pekerjaan kantor selama ini. Karena jujur saja, sejauh aku melihat apa yang terjadi di kantor tadi, membuatku menyimpulkan kalau selama ini Evan tidak pernah menjalankam tanggungjawabnya di kantor Papa. Karena semuanya berantakan. Entah karena dia sibuk mengurusi usahanya sendiri, atau karna kelalaian Evan. Dan kalau itu karena kelalaiannya, aku harus tau sebabnya. Aku tidak bisa langsung menuduh begitu saja, kan, kalau tanpa sebab yang jelas?" jelas Ethan cepat, setelah melihat perubahan raut wajah Silver sekarang.

Silver tersenyum dipaksakan, "Aku hanya tidak nyaman kalau harus menceritakan masalah pribadi pada orang lain," gumamnya pelan.

"Baik," Ethan mengangguk mengerti, "ceritakan nanti kalau kamu sudah siap." Lalu, Ethan kembali berjalan menyusuri jalan setapak.

Di kejauhan sudah mulai terlihat sebuah danau. Sebenarnya, itu danau buatan karena tidak begitu besar. Dan itu memang sengaja dibuat Ayahnya lantaran hobi memancing. Biasanya, dulu Ayahnya akan datang memancing disana saat senggang. Dan kadang, membawa serta Ethan dan Evan kecil untuk menghabiskan waktu bersama.

Langkah Ethan terhenti manakala matanya melihat sebuah rumah pohon yang ternyata masih ada disana. Sedikit tidak terawat memang, tapi masih terlihat sama ketika terakhir kali dia datang kesana.

Rumah pohon itupun sengaja dibuatkan Ayahnya untuk kedua putranya. Untuk mereka bermain dan beristirahat saat ikut ayahnya memancing. Katanya, agar mereka tidak bosan. Penuh kenangan, dan bahkan ada kenangannya dengan Silver disana.

Ethan beranjak dari tempatnya menuju rumah pohon tersebut.

"Jangan," Silver tiba-tiba mencekal tangan Ethan, saat Ethan akan menaiki tangga untuk naik kesana. "itu sudah lama tidak dipakai," katanya, sembari menggelangkan kepala, "Aku tidak yakin akan aman kalau kamu naik kesana."

"Tidak masalah," Ethan melepas cekalan tangan Silver perlahan, "Papa dulu pernah bilang, kalau dia membuat rumah pohon ini dengan kayu terbaik, dan yang paling bagus. Jadi, tidak akan lapuk karena usia," terang Ethan, "Kamu disini saja tidak usah ikut. Aku hanya ingin menikmati kenangan masa kecilku."

Dan setelahnya, Ethan benar-benar mulai naik ke rumah pohon itu.

Sejujurnya, Ethan bukan hanya ingin menikmati kenangan masa kecilnya saja. Namun dia juga ingin menikmati kenangannya bersama Silver disana.

Setibanya di atas, Ethan harus sedikit menunduk karena tinggi badannya yang menjulang, sudah mengenai langit-langit. Ethan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut rumah pohon yang sudah berdebu itu.

Sebuah ukiran huruf di atas langit-langit mencuri perhatiannya. Ethan mengusap tulisan yang di ukir oleh benda tajam di atas langit-langit kayu itu, agar dia bisa melihatnya dengan jelas.

Ethan tersenyum getir, saat melihat ukiran bertuliskan nama Evan dan Silver dalam sebuah gambar hati disana.

"Memalukan sekali, ternyata itu masih ada."

Ethan buru-buru menarik tangannya, lantas menoleh ke belakang. Arah dimana suara tadi berbicara.

Tentu saja itu Silver. Sepertinya, dia memutuskan untuk ikut naik.

"Sudah lama sekali aku tidak naik kemari walaupun sering datang ke danau." Silver ikut mnegedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah pohon, "Kotor dan berdebu sekali disini," Silver bicara sambil sesekali terbatuk lantaran tebalnya debu disana.

"Kenapa ikut naik? Debu disini banyak sekali."

"Aku hanya—aw!!" kalimat Silver terhenti, berganti ringisan lantaran kepalanya terbentur langit-langit lumayan keras. Mengingat langit-langit rumah pohon memang tidak simetris. Ada yang tinggi, juga rendah.

Ethan berdecih, "Memang tidak bisa, ya, kalau sekali saja kamu tidak ceroboh?" cibirnya.

Silver malah tersenyum meringis sembari mengelus kepalanya yang sempat terbentur tadi, "Maaf," cengirnya polos, "Aku naik karena sebenarnya bukan hanya kamu yang memiliki kenangan di tempat ini," nafas Silver terhela panjang, "Aku pun mempunyai kenangan yang sulit untuk dilupakan disini," timpalnya, lalu menatap nanar ke pojokan. Dengan raut wajah yang berubah sedih. Namun, itu tidak lama karena sepersekian detik kemudian, dia kembali mengulaskan senyuman ceria.

Tanpa sadar Ethan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Emosi wanita itu memang gampang sekali berubah.

"Sepertinya mulai hujan," Silver kembali bicara degan suara yang berubah panik manakala melihat hujan yang mulai turun di luar rumah pohon dengan derasnya.

"Dan setidaknya kita tidak kehujanan disini," Ethan menyahut santai. Memilih beranjak untuk mencari tempat yang sekiranya bisa dia pakai untuk beristirahat.

"Kenapa kamu santai sekali?" Silver mengernyit protes, "kalau hujannya tidak kunjung reda, tandanya kita akan lama tertahan disini. Bagaimana kalau sampai malam?" timpalnya, ada kepanikan yang tidak bisa dia sembunyikan dari suaranya.

Ethan akhirnya mendapatkan tempat yang sekiranya cocok untuk dia beristirahat. Setelahnya, dia malah merebahkan tubuhnya disana. "Bukannya kamu juga yang mau datang ke danau saat hari mulai sore dan mendung?" tanya Ethan datar, "bersyukur saja kita punya tempat berteduh sekarang. Jadi, diamlah, aku ingin istirahat," timpal Ethan nyaris acuh.

Silver akhirnya memilih diam, setelah sebelumnya samar terdengar suara gerutuannya walau tidak jelas ditangkap oleh pendengaran Ethan. Karena Ethan sudah memejamkan matanya. Mencoba fokus mendengarkan suara rintik hujan di luar sana, yang sekiranya memberikan ketenangan tersendiri untuk pikiran dan perasaan Ethan yang tidak karuan sedari tadi.

***

Lies Over Lies✓ (REVISI)Onde histórias criam vida. Descubra agora