Tapi ia tak bisa melakukan apapun untuk menghindar dari lelaki tua bangka ini. Maklumlah, karena hanya dia yang mampu menjamin kehidupan Thalita selama ini. Ia bisa tinggal di rumah yang mewah lengkap dengan pelayan pribadi, kendaraan mahal beserta supirnya bahkan uang bulanan tanpa seri hanya karena ia setia melayani lelaki tua bangka itu. Di tambah lagi dengan kehormatan yang ia dapatkan karena menjadi wanita simpanan seorang lelaki tua bangka yang kaya raya.

---

Thalita sedang berjalan keluar dari kamar mandi sebuah klub malam terkenal yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Bukan hanya banyak anak muda kekinian yang sibuk menghabiskan malam disana. Tetapi juga lelaki tua bangka yang sudah membayarnya mahal demi bisa menghabiskan malam-malamnya dengan Thalita. Ya, bukan hanya untuk satu malam ia membayar, tapi untuk beberapa bulan ke depan. Ia bilang, jika Thalita telah memenuhi persyaratannya untuk menjadi wanita simpanannya.

Bukan tanpa alasan Thalita melakukan pekerjaan hina ini. Ia terpaksa. Thalita butuh uang lebih untuk bisa menjamin hidupku setelah neneknya meninggal. Memang masih ada kekasihnya, Arvin yang akan selalu ada untuknya. Tapi, ia tak merasa cukup jika hanya dengan rasa perhatian dan kasih sayang. Ia juga butuh materi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Biar bagaimanapun Thalita tak terbiasa untuk hidup susah dan sederhana seperti ini. Ia menginginkan yang lebih daripada cinta yang di berikan oleh Arvin. Dan hanya dengan begini ia bisa mendapatkannya. Meski ia harus menjajakkan tubuhnya kepada lelaki yang sama sekali tak ia inginkan.

Thalita duduk di sebelah lelaki tua itu dengan posisi yang menggoda. Ia tahu dengan begini lelaki itu akan menyukainya dan tak segan untuk memberi uang tambahan padanya.

Lelaki itu membelai rambut Thalita yang panjang. Ia juga mencium bahu wanita yang kini resmi ia bayar. "Sayang, aku udah gak sabar lagi nih. Lebih baik kita cepat ke hotel sekarang juga. Supaya kamu bisa dengan segera melaksanakan tugasmu."

"Iya, sayang. Aku juga ingin memuaskanmu sekarang juga." Thalita beralih ke pangkuan lelaki tua itu.

"Kalau begitu cepat kita pergi dari sini. Aku tidak sabar lagi ingin merasakan tubuhmu yang beraroma stroberi ini." ajak lelaki itu sambil meraih pinggang Thalita ke dalam rengkuhannya.

Kemudian mereka pun berjalan beriringan keluar dari klub malam itu, mungkin akan ke hotel terdekat atau bahkan mereka akan ke apartment lelaki itu. Entahlah, yang jelas Thalita tak bisa menolak kemanapun lelaki itu membawanya.

Sesampainya mereka di depan sebuah apartment mewah, mereka pun langsung menuju ke unit milik lelaki itu. Di dalam kamar keduanya saling berciuman mesra bahkan saat mereka belum menutup pintunya. Beruntung, seorang bodyguard lelaki itu langsung menutup pintunya. Ia juga tak ingin jika hal yang tak pantas itu sampai dilihat apalagi menjadi tontonan orang banyak.

Sesungguhnya Thalita enggan melakukan hal itu apalagi yang lebih. Tapi mau bagaimana lagi, ia butuh uang dari lelaki itu. Alhasil, ia hanya membayangkan ketika ia berciuman dengan Arvin. Meski rasanya jauh berbeda.

Vin, maafin aku ya. Aku balik ke pekerjaan ini meskipun kamu udah melarang aku mati-matian.

---

Sinar mentari sudah menyapa sebagian besar penduduk bumi ini, termasuk Thalita. Ia merasakan sakit luar biasa pada sekujur tubuhnya. Bukan hanya pada bagian kewanitaannya saja tetapi juga pada seluruh bagian tubuhnya. Ya, lelaki tua itu bercinta dengan cara yang kasar. Ia mengikat, memukul bahkan menjatuhkan tubuh Thalita tanpa perasaan. Ia justru senang ketika melihat Thalita menangis karena kesakitan.

Namun Thalita tetaplah Thalita. Ia tak akan menyerah hanya karena hal ini. Ia akan tetap menjalankan pekerjaannya meski ia tahu jika sesungguhnya hatinya tak mau. Di saat seperti inilah, Thalita kembali mengingat segalanya tentang Arvin. Lelaki itu begitu lembut, baik dan selalu berusaha membuat Thalita nyaman dalam keadaan apapun.

Tanpa terasa cairan bening itu mengalir deras membasahi pipi Thalita yang membiru akibat pukulan dari lelaki tua itu. Ia terus menangis hingga sesenggukan dan suaranya mulai serak.

Klik.

Suara pintu yang menggunakan pin itu pun terbuka. Terlihat seorang wanita yang kurang lenih berusia 40 tahunan memasuki kamar itu sambil membawakan nampan berisi makanan dan kotak P3K di tangannya.

"Permisi, Non. Bibi bawakan makanan sama obat untuk mengobati itu..." serunya sambil menunjuk ke arah lebam yang bersarang di ujung matanya.

Thalita hanya diam. Perlahan ia mencoba bangun dari posisinya yang terbaring. Meski untuk itu rasanya akan sangat menyakitkan.

"Pelan-pelan, Non." gumam Bibi sambil membantu Thalita duduk. "Biar Bibi obati dulu lukanya supaya cepat sembuh setelah itu Non bisa makan. Soalnya Bibi lihat kayaknya Non lelah sekali menghadapi Bapak semalam."

"Bibi..." cicit Thalita pelan.

"Bibi udah biasa lihat Bapak bawa pulang perempuan dari klub setiap malam. Mereka semua di bawa ke apartment ini." Bibi memulai ceritanya sambil tangannya sibuk mengolesi salep untuk lebam di wajah Thalita. "Awalnya Bibi kasihan sama perempuan yang di bawa kesini. Umur mereka masih muda dan gak sepantasnya untuk jadi pemuas lelaki tua yang gila seks seperti itu."

"Bibi udah lama kerja disini?" tanya Thalita pelan.

"Iya, Bibi udah dua puluh tahun kerja disini sebagai pembantu. Makanya Bibi tahu kalau sering ada perempuan yang bangun di pagi hari dengan keadaan yang sama seperti Non begini."

Thalita hanua diam dan menangis. Ia tak menyangka bahwa hidupnya akan seperti ini. Ia akan terjebak pada dunia yang kelam seperti ini.

"Non, jangan menangis. Bibi tahu Non pasti orang baik dan sekarang hanya sedang salah jalan aja." Bibi mengusap lengan Thalita yang terbebas dari luka lebam akibat pukulan lelaki tua itu.

Thalita tak membalas perkataan Bibi. Ia masih tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Ya udah, Non, Bibi keluar dulu. Jangan lupa di makan supaya Non ada tenaga untuk bisa pergi dari sini mumpung Bapak sedang pergi ke kantor."

Setelah membereskan obat-obatan itu, ia segera keluar dari kamar yang cukup mewah itu. Bagaimana tidak, apartment ini memang salah satu dari jajaran apartement mewah yang ada di Jakarta. Dan lelaki tua itu bilang bahwa selama ia menjadi wanita simpanannya berarti Thalita akan tinggal disini. Ia tak akan di izinkan untuk keluar sendiri apalagi untuk menemui orang lain kecuali jika tujuannya adalah untuk berbelanja atau mempercantik diri di salon. Mungkin selama beberapa bulan ke depan ia akan merasakan tinggal di dalam sangkar emas dalam kehidupan nyata.

---

Hati Thalita seakan teriris pisau tajam ketika mendengar pengakuan Arvin jika dirinya telah menikah dengan perempuan lain. Bahkan sesungguhnya hubungan mereka belum berakhir saat Arvin memutuskan untuk menikah. Rasanya seperti ribuan pisau yang menghujam jantungnya.

Di satu sisi, ia berjuang untuk mengumpulkan uang lebih untuk menjamin kehidupannya kelak dengan Arvin. Namun di sisi lain, ia malah meninggalkannya dan memilih perempuan lain untuk menjadi pendampingnya.

Ia merasa di campakkan begitu saja. Memang yang ia lakukan bukanlah tindakan yang baik. Tapi tak lantas Arvin bisa melakukan hal sekejam ini padanya. Bahkan di saat Thalita sedang ingin dengannya.

"Aaarrrrrrrgggggghhhh..." teriak Thalita sambil menghempaskan semua yang ada di meja makan hingga berantakan."Kamu jahat sama aku, Vin. Kamu tega meninggalkan aku dan menikah dengan perempuan lain."

"Non, tenang dulu. Jangan kayak begini nanti tangan Non luka." Bibi memegang tangan Thalita agar tak melemparkan barang lagi.

"Biarin aja, Bi. Apa gunanya aku hidup kalau aku gak bisa dapat apa yang aku mau. Lebih baik aku mati aja." Thalita begitu emosi saat ini.

"Tapi jangan seperti ini, Non. Nanti Bibi bisa di marahi sama Bapak kalau sampai ada apa-apa sama Non."

Thalita tetap saja histeris. Ia menangis sambil berteriak. Tak lupa juga ia membanting barang yang ada di sekitarnya hingga tak berbentuk lagi.

"AKU BERSUMPAH, SAMPAI KAPANPUN AKU AKAN TETAP MEMBUAT KAMU JADI MILIKKU SELAMANYA, VIN. KAMU INGAT ITU!"

STUPID MISSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang