Prologue 1.a

4.3K 1.3K 2.8K
                                    

Menatap dalam diam apa yang dilihat, ibukota pagi ini sangat ramai hingga polusi dapat dirasakan dengan perkiraan. Tingginya ruangan itu berada, tak membuat keadaan ruang bising dengan suara lalu lintas di bawahnya. Hisapan-hisapan rokok yang mengeluarkan asap sedang menemani figur itu saat ini. Diam dan hening adalah suasana pada kesendiriannya.

Setengah gelas brandy telah diacuhkan di atas meja. Kota Washington tidak bertanggung jawab karena mencuri perhatian melalui kaca besar di dalamnya. Iris hitam itu dapat memecahkan kaca jika dikaitkan dalam bentuk benda karena tajamnya tatapan bagai pisau sejarah di masa kelam.

Dalton Wilford.

The Capo di Tutti Capi.

Sang penguasa bagian benua Amerika. Menyimpan banyak rahasia gelap negara, seperti politik kotor yang dilakukan para petinggi, perdagangan manusia, pembekuan Hak Asasi Manusia, dan sebagainya.

Tampan, namun, mengerikan. Misterius, kejam tanpa maaf, licik, dan tentu dengan semua keburukan yang dimiliki tidak menutup kemungkinan untuk hidup dengan aman. Musuh menjadi alasan satu-satunya agar ia menjadi kuat dan terus berkembang.

Tak satupun musuh yang berurusan dengannya akan berakhir oleh perdamaian.

Namun yang ada, hanya kematian yang sia-sia.

Ia tidak sudi memberikan musuhnya percobaan kedua dalam hidupnya. Tidak ada kata maaf dan tidak ada pula kesempatan. Semuanya harus tuntas.

Terlalu sibuk dengan dunianya, Dalton mengesampingkan hal yang tidak penting atau hal yang tidak memberikan keuntungan apapun untuknya.

Bunyi pintu yang diketuk, mengusik dirinya yang menikmati waktu tenang.

"Come in."

Menampilkan sosok pria dengan jas hitam, anak buahnya itu mendekat seraya membenarkan earpiecenya. "Tuan, Logähma mencoba untuk meretas akses basement di Miami." Si anak buah yang selalu merasakan aura ngeri dengan pemimpinnya, berucap tegas.

Wyxron dan Logähma, kedua geng yang selalu memiliki konflik. Tidak asing lagi di telinga, jika kedua kelompok itu melakukan persaingan dan sesuatu kriminal untuk menggugurkan satu sama lain.

Dalton menaikan sebelah alisnya merasa terhibur. "Lalu?" tanyanya kemudian mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.

"Gisha dan Maxim sedang sibuk menutup aksesnya sebelum terlambat, Tuan. Dan Logähma akan menghancurkan bisnis anda di Miami jika anda tidak memberi tanggung jawab atas kematian tangan kanannya."

Menghancurkannya? Memangnya, tikus kecil itu bisa? Lelucon yang bagus.

Lelaki yang dipanggil 'tuan' itu, memutar kursi dan melihat anak buahnya yang sedang berdiri di dekat meja kerjanya. "Itu bukan urusanku," Dalton mematikan puntung rokoknya di asbak dengan cara mengintimidasi. "Keluar. Infomu tidak penting."

"Lalu bagaimana dengan rencana dia untuk mengacaukan perusahaan yang baru saja kau dirikan, Sir?"

Dalton tertawa rendah, "Aku harus apa? Lari ketakutan seperti tikus selokan?"

"Maaf, Tuan, Jack sepertinya tidak akan menyerah, apalagi hal ini berkaitan dengan Trevas Chip."

Sedari awal, Jack memang tidak pernah menyerah. Ambisi kuat pria itu patut diapresiasi. Namun sayangnya, Jack Tygan salah memilih lawan. Seberapa besar usaha yang diberikan pria itu padanya, akan menjadi hal tak berguna.

"Tetap diam di tempat sebelum aku kembali," perintah Dalton pada Gerald, anak buahnya.

"Yes, Sir."

Dengan aura kekuasaan dan arogansi yang pekat, ia berdiri dari kursi menuju pintu kayu jati dan menutupnya. Di dalam ruangan tersebut, kembali terdapat sebuah ruang. Langkahnya mendekat, menuju pada pintu yang di beri kemanan tinggi. Ia mengarahkan wajahnya ke eye scanner, salah satu karyanya, namun, keamanan ini tidak diperjual belikan.

Hanya untuk dirinya pribadi.

Warna biru di layar deteksi berubah menjadi hijau, pintu secara otomatis terbuka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Warna biru di layar deteksi berubah menjadi hijau, pintu secara otomatis terbuka.

Dalton masuk ke ruangan tersembunyi itu lalu mengambil sesuatu di sana sebelum berjalan keluar setelah mendapat apa yang ia ingin. Gerald masih berdiri di sana seperti patung penjaga. Dalton mengambil ponselnya di atas meja untuk menghubungi Si bodoh. Didering ketiga, telepon menerima jawaban.

"Merindukanku?"

Mendengar suaranya saja, Dalton tidak sudi. Seperti sampah yang sedang berbicara dengan bau busuk yang menyeruak.

"Kau akan mendapatkannya. Aku sedang suntuk untuk meributkan masalah sampah ini."

"Sebentar, apa yang sedang kita bahas? Apakah ini menyangkut kematian Mr. McCalisster? perbudakan di Selandia Baru? atau kematian tangan kananku? atau ... huh! ... kau merepotkanku yang harus mencari pengganti mereka---"

"One million dollar." Banyak bicara. Dalton tidak mengindahkan Si bodoh itu berbicara panjang lebar. Segera ia memotong agar perbincangan ini cepat berakhir. "Cukup untuk menutup mulutmu?"

Terdengar suara umpatan kasar di sana lalu beberapa detik kemudian suara tawa menyusul, "Kau orang yang sangat cepat tanggap Mr.Wilford, tapi, aku tidak semurah itu."

"Kau memang murah. Tindakanku sudah tepat."

Tidak ada ejekan, kekehan, atau gurauan menyebalkan seperti tadi. Keduanya diam, seperti menahan amarah yang tertahan.

Dalton mengetuk jari-jarinya di meja dengan bergilir, menghitung timing yang tepat.

Lagi-lagi, suara tawa yang renyah terdengar di seberang telepon. "10 detik lagi."

Panggilan terputus lalu dalam hitungan detik, satu pesan masuk pada ponselnya.

Unknown number :
180-0 S-DC H4MJ-O 2-02-2 St

Find me.

Dalton menipiskan bibir, Jack mengirim sebuah alamat melalui kode untuk menunjukan keberadaannya. Hanya tersenyum kemenangan yang tanpa di ketahui musuhnya itu, Dalton sudah membuat rencana picik sejak awal.

Ia membuka tas yang diambil dari ruangan privasi dengan berisi banyak uang, kemudian ia menempatkan sesuatu barang di balik uang tersebut lalu ia mengaturnya.

Ya, ia menaruh bom rakitannya. Dalton ahli dalam hal merakit benda seperti itu. Ia juga pandai dalam merakit barang-barang canggih lainnya.

Ketika kesibukannya selesai, Dalton memberi tas itu pada Gerald yang kemudian diambil alih.

"Gerald, bawa tas ini ke ladang padi, tempat Jack berada."

"Baik, tuan." Sebelum Gerald pergi, Dalton berucap sesuatu.

"Tepat waktu. Kau tahu jika gagal, bom itu akan meledak tak peduli siapa dirimu."

Gerald mengangguk siap sebelum pergi dari tempat untuk menjalankan misinya.

Dan di sini Dalton, menunggu kabar menyegarkan tentang adanya bom di televisi.

Ia tersenyum licik membayangkan Jack berserta anak buahnya mati bersama, karena bom yang ia selipkan di dalam tas tersebut.

"Selamat menikmati, Jack."

Setengah brandy yang sempat dianggurkan, dihabiskannya langsung dalam sekali tenggak. Matanya kembali memusat pada pemandangan kota Washington dini hari.

Opium For DaltonWhere stories live. Discover now