[11] J e r k

867 31 11
                                    

Ia mengamati sambil meneguk kembali air mineralnya.

Sejak awal, Dalton sudah yakin bahwa Emily akan menolak, dan kenyataan itu benar. Maka, ia harus membuat wanita itu tak berkutik. Segala cara ia lakukan untuk mendapatkan titik tumpu agar wanita itu tidak membangkang.

"Bagaimana?"

Tidak merespon dengan mata yang setia menatap meja, walau, telinganya mendengar sebuah pertanyaan tergesa. Dengan pikiran berisi pro kontra, entahlah, meja lebih menarik daripada membalas tatapan pria itu. Emily sudah terlalu lengar memikirkan semua yang terjadi hari ini dan hari-hari yang akan datang. Pria ini tentu punya kuasa yang jauh dari dirinya.

Tidak sabar menunggu, Dalton membuka suara kembali. Wanita ini berpikir terlalu lama hingga menciptakan keheningan, suara detik jam pun mengalahkan kesunyian yang tercipta. "Baiklah, mari kita lihat, sampai kapan kau akan bertahan dengan keras kepalamu itu."

"Aku tahu, pada akhirnya kau akan selalu menggunakan hal rendah, bukan?" Emily mulai bersuara.

Dalton mengedikan bahu kemudian bersedekap kembali. "We never know. Tergantung bagaimana kau bersikap."

Emily menghela nafas berat. Kenapa ia selalu terjebak di perangkap pria itu? "Why must me? Kau bisa membayar dokter lain yang lebih ahli dan pantas mendapat bayaran mahal."

"Aku bebas memilih."

"Aku juga bebas berpendapat."

"Kau masih berusaha keras rupanya."

"Aku sangat keberatan. Tidak ada yang dapat mengganggu gugat kenyataan itu."

"Kenyataannya, aku memegang kartu As-mu."

Emily tertawa kecil. Licik sekali pria ini. "Kau bajingan brengsek yang pernah aku temui."

"Aku tersanjung."

Emily berdecak dan menautkan jari-jemarinya gusar. Pria seperti Dalton tentu tidak akan membiarkan siapapun lolos jika tidak memenuhi keinginannya. "Apa keuntungannya bagiku?"

Dalton mendekatkan diri, menghirup aroma yang menenangkan dari wanita itu. "Gaji yang tentu saja tidak perlu dibayangkan, sangat cukup membuatmu sejahtera. Kau bebas berekspresi dalam mansion ini dan uang saku, aku tahu kau butuh berbelanja dan kebutuhan lainnya." Dalton menjauhi diri, keduanya terdiam sebelum bibir itu kembali berucap, "Jika kau tetap menolak, tidak apa. Aku pun merasa tidak rugi juga, kau tetap akan melihatku di manapun dan kapanpun."

Menyebalkan, bukan?

Emily memang harus memilih, lagipula, mengapa takdirnya harus bertemu dengan pria bajingan ini? Marah pun sudah terlalu sering dirinya lakukan pada pria itu. Jika seperti ini, ia memang hanya diwajibkan memilih pilihan pria itu. Tidak ada opsi lain dan tidak ada jalan keluar kembali. Emily benar-benar seperti sebuah mangsa yang sudah terperangkap.

"Bisa beri aku waktu? Ini terlalu cepat." Emily sudah memutuskan dan tentu ia tidak menolak. Memutuskan untuk menolak yang berarti sama saja ia bunuh diri secara perlahan karena hasil presentase keuntungan sangat kecil baginya.

Dalton terdiam sejenak, masih dengan tangan yang bersedekap. "Tidak masalah. Aku akan menunggu. Berapa lama waktu yang kau butuh?"

"Seminggu," Emily menjawab cepat. "Dan selama seminggu itu, kau tidak boleh bertemu denganku."

Dalton menaikkan sebelah alisnya, "Sungguh? Kau tahu, ini bukan main-main."

Apa katanya? Selama seminggu tidak boleh bertemu dengan wanita ini? Demi apapun! Mungkin hari-harinya akan terasa hambar bila harus menahan selama seminggu tanpa melihat wajah kesal Emily.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Opium For DaltonWhere stories live. Discover now