17. Cemburu

4.9K 266 0
                                    

Kita hanya perlu percaya bahwa, apa yang sudah di takdirkan milik kita, akan tetap Tuhan menangkan untuk kita, walaupun berjuta rasa lainnya sempat bertarung mati-matian untuk memenangkan hatinya.

***

Fanya mematikan bunyi alarm yang berbunyi begitu nyaring. Perlahan ia mengerjapkan matanya. Ia sengaja membunyikan alarm pagi sekali karena ia akan pergi dulu ke rumah sakit. Semalam dirinya pulang jam sebelas malam di antar Devan.

Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arah meja belajar. Ia meraih ponselnya, mencari kontak Devan dan menghubunginya.

Fanya menyimpan kembali ponselnya karena Devan tidak mengangkat telepon darinya. Ia mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.

Lima belas menit kemudian, ia sudah selesai mandi. Ia memakai baju seragamnya lalu turun ke bawah.

"Neng Fanya, berangkatnya kenapa pagi sekali?" tanya pembatunya.

"Bibi kapan pulang?" Fanya malah bertanya balik.

"Kemarin sore," jawab Bi Yani.

"Bibi baru aja mau masak, tunggu aja ya?" ujar Bi Yani.

Fanya menggeleng. "Gak usah, nanti Fanya makan di sekolah aja. Fanya mau ke rumah sakit dulu."

"Oh iya, katanya nyonya udah sadar ya?" tanya Bi Yani sambil mengelap meja.

"Iya bi."

Fanya menghirup udara pagi sambil tersenyum. Ia merasa senang kalau mamanya sudah sadar.

"Mama!" pekik Fanya saat sampai di rumah sakit kemudian memeluk mamanya.

"Aduhh, anak mama rajin sekali jam segini. Udah wangi lagi," ujar Farah tersenyum.

"Iya dong pasti!" Fanya tidak henti-hentinya tersenyum.

"Mama kapan pulang?" tanya Fanya yang duduk di sebelah ranjang mamanya.

"Gak tahu, kata dokter mama belum pulih total," balas Farah.

"Oh iya, papa ke-kemana?" tanya Farah yang membuat Fanya mematung di tempat. Mamanya pasti belum tahu kalau papanya di penjara. Ia bingung harus bagaimana berbicara kepada mamanya.

"Fanya? Hei!" Farah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Fanya.

"Fanya!"

Fanya terperanjat kaget. "Eh? Iya ma?"

"Fanya harus berangkat sekolah dulu ma! Dadahhh!" Fanya menyalimi punggung tangan mamanya rusuh.

Fanya berlari keluar ruangan lalu menghela napas lega. Mungkin bukan hari ini ia memberitahu tentang papanya. Ia berjalan santai menyusuri koridor rumah sakit. Tiba-tiba ponselnya berdering, ia segera menggeser slide answer saat Devan meneleponnya.

"Aku jemput ya!"

"Di rumah sakit."

"Hah? Kok di rumah sakit?"

"Tadi aku kesini dulu."

"Kenapa gak bilang?"

Attention [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang