Chapter 10

30 2 2
                                    

Hari-hari berlalu, tanpa bertemu Andan maupun Farlis. Semua terasa biasa saja bagi Anet, sama halnya seperti saat mereka memang jauh berada di tempatnya masing-masing, Jakarta dan Jerman. Dia pun disibukkan oleh para pelanggannya yang kian rajin berkunjung ke kedai, memesan aneka jenis kopi favorit dan cake ataupun cookies. Maupun bertemu orang-orang baru yang mendaftar menjadi penikmat kopi buatannya. Anet senang pelanggannya bertambah.

Kamis sore, seseorang tergopoh-gopoh dengan bantuan tongkat yang menopang kakinya untuk berjalan menelusuri halaman kafe. Pakaiannya serba tertutup, memakai blazer hitam dengan fedora di kepalanya..

Truk-truk, tongkat itu menyentuh lantai mengayun dengan irama perlahan, membuat Aneta melayangkan pandangan ke arahnya. Laki-laki hampir berusia senja mendekat menuju pantry. Aneta terkesiap, sorot mata yang memandangnya seakan mengingatkan dia pada seseorang. Meskipun wajahnya tertutupi syal yang melingkar di lehernya. Setetes air mata tiba-tiba terjatuh dari mata Aneta tanpa sadar.

"Boleh ku pesan secangkir arabica?" kata laki-laki itu dengan suara parau yang berat.

"Ah ya," tersadar dari lintas imajinya, Aneta mengusap sisa garisan air mata di pipinya. "Silakan Anda bisa tunggu di meja yang masih kosong," katanya ramah.

Kemudian laki-laki itu pergi, menuju kursi kosong di pojok dekat jendela. Tempat favorit Aneta dan Abell kala bercerita.

"Arabica?" gumam Aneta sembari meracik. Ia semakin ingat akan seseorang yang tadi terlintas dibenaknya.

Tak lama berselang Anet datang menghampiri, menyodorkan pesanan segelas arabica.

"Apa kau pemilik kedai ini?"

Anet yang hendak kembali ke pantry, tertahan langkahnya. "Ya, saya sendiri."

Laki-laki tua itu menyesap kopi dengan santai, setelah ia meniup-niup sebentar permukannya yang masih mengepulkan uap panas. "Aku suka kopimu, pasti kau menyeduhnya dengan penuh rasa cinta ya?"

Selain senang karena ia mendapat pujian, Aneta juga merasa aneh mendengar kalimat pengunjung barunya itu. Gadis itu hanya tersenyum, tak tahu harus menjawab apa.

"Uhm.. tentu saja. Aku mencintai pekerjaanku." Setelah berpikir sejenak, jawaban diplomatispun keluar dari mulutnya.

Laki-laki itu tertawa kecil, "Anet, tidakkah kau mengingatku?" tanya-nya sambil mendongak.

Anet membisu, karena laki-laki tua itu tahu namanya. Dengan penasaran Aneta duduk di kursi kosong di hadapannya. Bukan bermaksud tak sopan, tapi karena dia sangat ingin tahu siapakah sosok dibalik pakaian yang mirip dengan detektif tersebut.

"Ini aku," kata laki-laki itu seraya melepaskan lingkaran syal dan topi fedoranya.

Anet bergeming, memerhatikan laki-laki di hadapannya. Sesaat ia dapati sosok dengan wajah yang sangat ia kenal, "Pak Tua..." matanya hampir loncat keluar, seolah tak percaya akan sosok yang berada di hadapannya.

"Rupanya kau masih sangat mengenaliku Aneta." Air muka laki-laki itu nampak senang.

"Ta-tapi bagaimana kau masih hidup? Kau bukan hantu kan?" Aneta benar-benar tak percaya. Ia menepuk-nepuk pipinya diiringi air mata yang keluar begitu saja.

"Tentu saja. Bagaimana kau bisa menganggapku sudah tiada sementara jasadku tak kau temukan dimana-mana." Laki-laki tua itu terkekeh.

Coffee Shop LoveWhere stories live. Discover now