Chapter 4

53 5 2
                                    

Di bawah cahaya bulan sabit yang remang, Farlis dan Aneta berkendara motor berdua. Langit tadi siang yang menangis, menyisakan pemandangan bersih di angkasa. Gemintang berkerlap-kerlip, ikut meramaikan malam yang mulai hening,

Baru jam sepuluh, tapi jalanan di kota kecil itu sudah sangat sunyi. Manusia-manusia disana mudah sekali terbuai lelap. Farlis mencoba mengusir sepi dengan bernyanyi. Aneta tertawa-tawa saat Farlis mengganti beberapa lirik lagu yang ia nyanyikan dengan kalimat-kalimat nyeleneh.

"Sekarang serius!" seru Farlis agar Anet berhenti tertawa. Dia berdeham sebentar dan mulai lagi bernyanyi, "There is no other who can take your place. I feel happy inside when I see your face. I hope you believe me 'cause I speak sincerely. And I mean it when I tell you that I need..."

"You're my bestfriend. And I love You. And I love You. Yes I do..." lanjut Farlis diikuti Aneta yang juga menyanyikan lirik berikutnya bersamaan dengan Farlis, serempak.

"Hey, kamu hapal juga lagu itu?" tanya Farlis menghentikan nyanyian mereka.

"Yap." Jawab Anet sembari menganggukan kepala, menegaskan bahwa dia hapal lagu itu, lagu My Bestfriend yang dipopulerkan band lawas Weezer asal Los Angeles, California.

Farlis tersenyum dibalik kemudi. "That song for you, Anet." Gumamnya.

"That song for you, Andan." Guman Anet pula, hampir bersamaan dengan Farlis. Namun keduanya tak saling dengar ucapan masing-masing. Kalimat yang terucap untuk diri sendiri itu hanya berlalu terbawa angin yang mereka tembus.

Hening sejenak, "Net, kalau jatuh cinta kepada sahabat sendiri menurutmu bagaimana?" tanya Farlis tiba-tiba.

Anet membisu untuk beberapa detik. Ia hafal betul jawaban apa yang harus dia berikan atas pertanyaan laki-laki yang sedang dengan santai membawa vespa merahnya melaju.

"Mmm," Anet masih memikirkan kata-kata yang pas untuk mengutarakannya. "Jatuh cinta sama sahabat itu berat dan menakutkan. Ada banyak dilema dan konsekuensi. Kamu dihadapkan pada pilihan untuk diungkapkan atau selamanya kamu pendam. Memilih salah satu dari keduanya tetap saja merujuk pada satu hubungan 'persahabatan' untuk tetap dipertahankan, dengan atau tanpa adanya status cinta itu bersambut atau tidak. Jika tidak pandai berbijaksana, maka kamu hanya akan mendapat banyak kehilangan."

Farlis mencerna pendapat Anet yang baginya agak sedikit membingungkan.

"Kok diam?" Anet menatap punggung Farlis. "Kamu sedang jatuh cinta sama sahabat ya? Siapa dia?" tanya Anet polos.

Farlis hanya terkekeh. Iya, aku sedang jatuh cinta pada sahabatku sendiri, dia adalah kamu, Aneta. Hatinya meracau sendiri. Dalam benaknya bermunculan berbagai pemikiran. Haruskah ia mengungkapkan perasaannya yang sudah selama dua belas tahun ini terpendam, atau tetap membiarkan perasaan itu tetap tak terungkapkan. Di sisi lain dia ingin Anet tahu, tapi di sisi lain dia takut kehilangan Anet yang mungkin saja berubah setelah megetahui hal itu. Karena bagi Farlis, hanya Aneta-lah satu-satunya wanita yang menjadi sahabat terdekatnya.

"Mmm... kasih tau jangan?" jawab Farlis menirukan pelafalan tokoh Dilan, yang trailer filmnya sedang booming.

"Dih..." Aneta mendengus. "Kamu ingat sepasang sejoli yang pertama kali kamu temui di cafeku?"

Farlis mengangguk.

"Mereka dulunya bersahabat."

"Seperti aku dan kamu?" Farlis agak sedikit menolehkan kepalanya sembari pandangan tetap lurus ke depan megawasi jalanan.

"Mmm, tidak. Kita selalu akur. Tapi mereka seperti Tom and Jerry." Aneta tersenyum sejenak, teringat Andan. Satu-satunya laki-laki yang dia anggap sahabat terdekat olehnya. "Mereka bertemu saat SMA. Mereka alumni sekolah SMA tertua di Bandung. Lulusan tahun 1956."

"Waw. Lalu?" Farlis mulai penasaran.

"Dulu setiap bertemu di sekolah, mereka selalu saja terlibat perseteruan. Katanya, Madison selalu senang membuat Mariana merasa jengkel. Wanita itu selalu lucu dengan wajah kesalnya. Hingga lambat laun mereka menjadi dekat dan menjadi teman berbagi cerita. Lama-kelamaan ada pesona Madison yang membuat Mariana jatuh cinta padanya. Tapi Mariana masih merasa bingung. Apakah itu benar cinta atau hanya perasaan sayang terhadap seorang sahabat. Dia memutuskan untuk memendamnya, demi meyakinkan kebenaran atas apa yang dia rasa. Namun semakin hari perasaan itu semakin bertumbuh dengan hebatnya."

Mirip seperti kisah Anet dan Andan.

"Suatu hari Madison tahu tentang perasaan Mariana. Wanita itu gelagapan, meskipun pada akhirnya dia jujur. Dia tahu bahwasanya Madison hanya menganggapnya sebagai sahabat, tak lebih. Mariana pernah bercerita padaku tentang gadis-gadis yang menjadi pacar Madison, mereka cantik-cantik tak seperti Mariana yang sedikit tomboy. Lalu, atas nama persahabatan, Mariana meminta Madison untuk menghiraukan pengakuannya, dan berharap agar mereka akan terus bersahabat sampai kapanpun. Namun betapa beruntungnya wanita itu, setelah penantian panjangnya ternyata Madison pun menyadari hal yang sama, dia mencintai Mariana. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk menikah. Karena bagi Madison, tak ada wanita lain yang begitu mencintainya sedalam Mariana. Akhir yang indah bukan?" tukas Anet.

Farlis mengangguk. "Lalu Anet, maukah kamu memiliki akhir cerita seindah itu?"

"Hah?" gadis itu terdiam. Lama. Mencerna maksud dari pertanyaan Farlis. Tahukah dia tentang Andan? Batinnya. Selama ini Anet hanya bercerita pada Abell. Jauh dalam angannya, ia berharap memilki akhir cerita bersama Andan sama seperti Mariana dan Madison.

Laju motor pun berhenti. Tepat di depan rumah bergaya 80an. Rumah peninggalan nenek yang ditinggali Anet seorang diri. Anet menjejakan kakinya di pelataran halaman, masih dengan mencerna kalimat Farlis.

"Kok diam terus?" tanya Farlis dengan tatapan hangat dan senyum manisnya. Tangannya bergerak, menjulur memegangi helm yang masih berada di kepala Anet. Menghentikan usaha gadis itu untuk membukanya. "I love You, Anet." Ucapnya tanpa beban. Sorot matanya dalam menembus ke kornea mata Anet. Gadis itu terpaku, gagu dan kaku. Ada desiran aneh yang terasa di hatinya. Apa ini? Batinnya lagi.

"Sudah sana masuk!" seru Farlis masih dengan senyumannya yang tak lepas dari bibir tipisnya, tangan kanannya kini mengacak-ngacak rambut Anet yang lepek karena helm. Dia terkekeh, sementara Anet masih dalam kegaguan.

"Uhm.. ah iya." Anet menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas segera melangkah mendekati pintu rumah. Lalu dari balik pintu yang belum tertutup, ia melambaikan tangannya kikuk ke arah Farlis.

-ooo-

Dibalik seseorang yang dinanti, ada seseorang yang menanti.

Anet masih belum beranjak dari scene yang terus memutar adegan barusan. Kata-kata Farlis pun masih terus terngiang di telinganya. Benarkah Farlis mencintainya? Sejak kapan? Bagaimana bisa? Pertanyaan-pertanyaan itu bergulung di kepalanya.

Tanpa sadar dia tersenyum sendiri, memandangi langit malam itu dari balik jendela kamarnya. Namun sesekali wajahnya ditekuk bingung kala teringat surat tadi siang dari Jerman.

"Jika benar Farlis mencintaiku, lantas jawaban apa yang harus aku beri?"

Selama ini hatinya hanya menanti Andan, hanya Andan.

Well, apakah kelak Anet akan bersama Farlis atau Andan?

Tunggu next chapter my lovely readers :*

Coffee Shop LoveWhere stories live. Discover now