Chapter 7

43 3 0
                                    


"Hey, Anet. Sedang apa kamu disini?"

Sebuah suara yang sangat Anet kenal tiba-tiba menyapa. Membuyarkan prasangka pada percakapan Andan dan Maria yang tak sengaja ia curi dengar.

"Farlis?!" Mata Anet berbinar seketika seolah mensyukuri kehadirannya. "Hey, kamu yang sedang apa disini?" keningnya berkerut heran, namun nampak bahagia.

"Oh, aku baru saja menjenguk salah satu kerabatku yang sakit."

"Aneta, siapa itu?" Andan menoleh ke arah Aneta yang berada dibalik tanaman dracaena. Tanaman hias dalam pot yang diletakan di dekat lorong menuju ruang tunggu. Matanya memicing, mencari-cari sosok yang terhalangi tubuh Aneta dan dedaunan tanaman tersebut.

"Ah, iya," tangan kiri Anet dengan refleks menggenggam tangan kanan Farlis, lalu ditariknya untuk menghampiri Andan dan Maria. Jari-jemari Anet menyatu dengan jemari Farlis. Diremasnya cukup kuat, seolah Aneta meminta kekuatan dari Farlis.

 Diremasnya cukup kuat, seolah Aneta meminta kekuatan dari Farlis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kenalkan, dia teman lamaku. Ah teman dekat." Koreksinya sambil menoleh ke arah Farlis dengan senyum terkembang yang nampak dibuat-buat atau entah dipkasakan.

"Oh, hay. Aku Andan, aku juga teman lama Aneta, ah teman dekat, ah bukan, aku sahabat Aneta tepatnya." Seraya ia menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

Farlis menyeringai menanggapi sambutan Andan yang nampak kekanakan, "aku Farlis." Jawabnya sambil meraih uluran tangan Andan. "Uhm... dan ini?" matanya melihat ke arah Maria.

"Aku Maria," dia tersenyum, "tak perlu aku jelaskan siapa aku disini kan?" sindir gadis itu yang melihat Andan dengan sudut matanya. "Oh ya Kak Andan, aku sudah harus pergi. Maukah kau mengantarku?" pinta Maria yang melirik jarum jam pada arloji yang dipakainya.

"Uhm... boleh. Tapi Aneta?" Laki-laki itu menatap ke arah Anet, seolah meminta pertimbangan.

"Aneta biar aku yang antar pulang nanti." Farlis tiba-tiba menyambar pertanyaan, mulut Anet yang baru saja akan mengucapkan sesuatu kembali terkatup. Matanya melihat ke arah Farlis.

"Iya Andan, aku bersama Farlis saja. Bukankah, keluarga dari ibu yang kita antar kesini pun juga belum ada yang datang? Biar aku menunggunya."

"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa Anet." Tangan Andan memegang tangan Anet untuk sebentar. Hati Anet kembali merasakan perasaan yang kacau. Andan pergi bersama Maria.

"Maaf ya, kami duluan." Pamit Maria. Dalam penglihatan Anet, gadis itu nampak jumawa karena berhasil membawa Andan pergi bersamanya.

-ooo-

Aneta menatap punggung laki-laki yang tengah membawanya dengan vespa merah, 'kenapa aku tak jatuh cinta padamu saja?' bisiknya dalam hati. Tangannya yang hanya berpegangan pada ujung kemeja flanel yang dikenakan Farlis, kini ia lingkarkan erat di pinggangnya. Lalu ia sandarkan kepalanya pada punggung itu, Anet memeluk Farlis, merebahkan semua rasa tak keruan yang berkecamuk. Mencoba mencari ketenangan lain dari laki-laki yang selama ini selalu tahu bagaimana memperlakukannya dengan baik.

Mata Farlis mengarah ke tangan Anet yang melingkar di pinggangnya itu, diamatinya sejenak, ia tersenyum walau penuh dengan tanda tanya. Dalam hatinya ada sesuatu yang berdesir, perasaan aneh yang selalu terasa disaat ia selalu bersama Anet.

"Kau baik-baik saja Anet?"

"Ya Farlis, aku hanya sedikit lelah. Bolehkan aku merebahkan diri di punggungmu ini?"

"Tentu." Jawab laki-laki penuh pengertian itu, lalu ia membisu membiarkan Anet larut dalam hening yang hanya ditemani deruan suara motor vespanya. "Uhm... jadi kita kemana nih? Kalau kamu lelah, ku antar pulang saja ke rumah."

"Iya, kita pulang saja."

Aroma rumah Aneta selalu membuat Farlis terkenang masa dulu, masa dimana dia masih sangat sering berkunjung untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah atau sekedar main hingga sore menjelang. Dulu masih ada nenek, dan kedua orangtua Anet. Rumah itu selalu ramai dengan gelak tawa dari candaan papa Anet atau dengan cerita nenek tentang masa mudanya. Kini rumah tua itu sepi, nenek sudah meninggal begitupun kedua orangtua Anet yang hilang dalam kecelakaan pesawat saat Anet menginjak bangku SMA. Farlis juga, setelah lulus SMP dia harus kembali ke Jakarta karena ayahnya yang kembali ditugaskan disana. Terkadang Farlis merasa bersalah karena tak ada disaat Anet benar-benar membutuhkannya dan terpuruk sendirian. Dirundung kehilangan dan diselimuti kesepian.

Farlis duduk dengan santai di ruang tengah, menghadapi televisi yang menyala. Sementara Anet tengah berada di dapur menyiapkan camilan, bakwan jagung kesukaan Farlis. Laki-laki itu mulai membuka laci-laci kecil di bawah televisi, mencari sesuatu.

"Nah ini dia ketemu," ucapnya seraya mengeluarkan beberapa album foto. Dilihatnya kembali gambar-gambar kenangan yang tertera disana. Sesekali senyumnya mengembang kala meilhat foto dia dan Anet di masa lalu. Kebanyakan foto-foto Farlis disana, hasil bidikan tangan Anet yang dulu saat SMP mengikuti ekskul fotografi. Dia sering menjadikan Farlis sebagai objek foto candid nakalnya, baik sedang di sekolah, di rumah, ataupun saat hunting diluar. Terkadang Farlis memrotes hasil jepretannya yang menampakkan wajah Farlis dengan ekspresi menggelikan.

Dua album telah habis ia amati, album yang menguak seisi ingatan di kepalanya. Kini tangannya beralih ke album lainnya, album dengan sampul abu-abu dan terlihat masih baru, tak seusang album sebelumnya. Dilihatnya lembar pertama. Adalah foto-foto Anet bersama teman-teman semasa SMA-nya. Farlis yang tak tahu kehidupan Anet di masa itu mulai penasaran.

Lembar demi lembar ia amati, hingga dari halaman tengah album tersebut Farlis menemukan banyak potret candid dari seseorang. Andan. Wajahnya ada dimana-mana. Senyum menyeringai kembali menghiasi bibirnya yang tipis.

"Kamu sedang menonton televisi atau apa sih Farlis?" ucap Anet yang melihat teve menyala tanpa ditonton.

"Ini orang yang tadi kan?"

Anet mengamatinya sejenak, lalu ia hanya mengangguk dengan senyum yang melebar, matanya pun menyipit diikuti hidung mungilnya yang juga mengkerut, menggambarkan ia menyembunyikan sesuatu yang tak ingin Farlis ketahui. "Sudah jangan dilihat terus album fotonya, lebih baik makan bakwan jagung kesukaanmu ini!" tangannya langsung menyumpali mulut Farlis dengan satu bakwan.

"Heeey..." jawab Farlis menghindar, sementara Anet terus memaksa. Mereka tertawa-tawa dalam tingkah konyol kekanakan yang mereka lakukan. Asal bersama Farlis hati Anet selalu merasa bahagia tanpa merasa kepedihan. Tak seperti jika bersama Andan, dia bahagia namun merasa getir. Andan tak pernah menunjukkan perasaan lain terhadap Anet jika bukan hanya sekedar teman, meski Andan tahu betul akan cinta Anet yang begitu dalam untuknya. Tapi dia tak pernah bisa membalas cinta Anet. Tak pernah bisa. Entah mengapa.


maaf lamaaa readers post next chapternya :')

mentok dalam mengembangkan part satu ini niccc wkkk, ini pun cuma baru sedikit cerotanya di part 7 ini huhu.

ditunggu kritik, saran, dan masukannnya readers :*

Coffee Shop LoveWhere stories live. Discover now