Chapter 9

43 2 2
                                    

jadi untuk chapter ini, aku persembahkan untuk sahabatku @yunisanrf yang telah menginspirasi :) :*

selamat membaca readers ^^


Senja selalu indah untuk dinikmati, beruntung hujan di hari Minggu ini hanya gerimis tadi pagi yang sekedar menyapa, lalu ia kembali pergi menyisakan kilauan yang indah pada langit bersih dengan kapas awan tipis yang berarak perlahan. Romantis.

Seperti biasa pula, Minggu adalah jadwalnya Madison dan Mariana menghabiskan sore harinya bersama teh-teh dicangkir penuh cerita.

"Mariana, bolehkan aku bertanya tentang sebuah kata seandainya?"

"Oh ya sayang, tentu saja. Apa pertanyaanmu nak?" jawab nenek tua itu yang lalu meletakkan cangkir teh yang sudah disesapnya. Madison ikut menyimak, memandang ke arah Aneta yang bersiap bertanya.

"Seandainya, saat itu Madison tak membalas cintamu, lalu ternyata ada orang lain yang mencintaimu diam-diam. Penantiannya terhadapmu juga ternyata lebih lama dibanding penantianmu terhadap Madison. Dan dia mengungkapkannya setelah sekian lama tak lagi kuasa membendung rasa, dia tahu akan semua penantianmu terhadap Madison, namun dia meyakinkanmu untuk berhenti lalu mengajakmu berbahagia bersamanya, bukan dengan Madison. Menghapus semua bahagia yang getir menjadi bahagia yang sesungguhnya."

Mariana berpikir sejenak, dengan senyum simpul ia menjawab, "sayangnya Madison membalas cintaku. Namun menurutku mencari laki-laki setia seperti itu bagai mencari jarum dalam tumpukkan jerami.

Jarang sekali ada orang yang benar-benar jatuh cinta bertahun-tahun hanya kepada orang yang sama. Walaupun menyakitkan dalam sebuah penantian dan ketidakpastian, tapi itulah salah satu bentuk kebahagiaan dalam mencintai. Cinta itu agung. Orang seperti itu menganggap bahwa cinta adalah hal yang istimewa, dia tak serta merta memberikan perasaan dan hatinya terhadap sembarang orang."

"Dan karena itulah, aku memilih Mariana." Timpal Madison yang kemudian menggenggam tangan keriput wanita yang kini sangat dicintainya, "terimakasih Mariana telah mencintaiku begitu dalam dan tulus, aku beruntung." Lanjutnya.

"Dan terimakasih kau telah balas mencintaiku," Mariana tersenyum berbahagia.

Aneta tersipu melihat dua kekasih itu, manis sekali.

"Oh ya sayang, jika boleh ku tahu siapa laki-laki itu?" tanya Mariana.

"Uhm.. dia teman lamaku yang kau temui sore itu, Farlis." Senyum terkembang di wajah Aneta yang tersiram sinar senja. Matanya mengenang sosok yang semalam akhirnya pergi. Yang kelak datang kembali harus ia suguhi jawaban pasti. Namun sampai detik ini perasaannya masih bimbang.

"Ow, pria tampan itu ya. Aku sempat bertemu lagi dengannya beberapa hari lalu."

"Oh ya? Kapan Madison?" Aneta terperangah.

"Saat itu aku tengah berjalan di depan kafemu, lalu ku lihat dia tengah duduk mematung di depan pintu. Kafemu tutup, Anet." Pria tua itu mengingat kembali, "lalu ku hampiri dan ku temani dia sebentar, sampai akhirnya dia berkata akan mencarimu."

Anet teringat hari dimana ia menutup kafenya, saat berencana menghabiskan waktu seharian bersama Andan namun gagal. Dan Aneta bertemu dengan Farlis di rumah sakit.

Apakah dia berbohong mengunjungi kerabatnya di rumah sakit saat itu? Tapi bagaimana ia tahu aku berada disana? Batin Aneta heran.

-ooo-

Hari kian larut, kedua pekerja magang Anet pun sudah berpamitan pulang sejak pukul lima lebih tigapuluh sore tadi. Kini tinggal tersisa ia sendirian, tadi Abell sudah mengabarinya akan datang bersama Ramon, jadi ia menunggu kedatangan sahabatnya itu.

Dalam isi kepala Aneta berputar-putar perkataan Mariana, ia menimbang-nimbang rasa dalam hatinya. Akankah tetap mencintai Andan dan menunggu keajaiban membawanya datang; seperti Madison yang akhirnya membalas cinta Mariana, atau dia yang akan memberikan keajaiban bagi Farlis dan membalas cintanya? Dia teramat dilema.

"Hey!!!" sapa Abell membuat Aneta terkaget.

"Oh Tuhan Abeeell, apa yang kau lakukan. Kau mengagetkanku!" dia mendengus.

"Hoho... Oh Tuhaaan, kau saja yang melamun."

Aneta mengelus-elus dada yang jantungnya terasa hampir mau loncat keluar. "Huh...," dia menghela, "uhm... lalu kemana Ramon? Katanya kau akan datang bersamanya." Mata Anet celingukan menyapu sekitar.

"Dia sibuk. Beberapa pekerjaannya belum selesai di kantor. Malam ini harus segera diselesaikannya katanya." Wajah Abell merengut.

"Ya sudah, jangan sedih begitu. Jelek. Lagipula hargailah aku, jangan menjadikanku seperti kambing congek terus!"

"Bahahaha," Abell tertawa sangat nyaring, "makanya cepat punya pacar!" ledeknya.

Anet kembali mendengus.

Dua gadis itu kemudian larut dalam perbincangan, cerita-cerita mereka ikut terseduh dalam cangkir-cangkir yang terisi flat white dan latte. Entah mengapa, Aneta tetiba ingin meminum latte malam itu, minuman kesukaan Farlis. Bukan mocha, minuman kesukaannya dan Andan.

Seperti biasa Aneta bercerita tentang Andan, sebuah topik yang terkadang membuat Abell jenuh dan muak. Namun kali ini agak berbeda, Abell sedikit bersemangat mendengarkan cerita Anet karena ada Farlis yang menjadi tokoh lain yang ia ceritakan.

"Sebenarnya semua tergantung isi hatimu. Tapi jika aku menjadi kau, aku akan memilih Farlis. Dicintai itu lebih baik daripada mencintai. Jika hari ini kau hanya menyayanginya, mungkin esok hari kau bisa jadi mencintainya. Terkadang perasaan cinta itu tumbuh karena terbiasa, Anet."

Anet terpekur, memadangi secangkir latte di hadapannya. Matanya menusuk dalam dipenuhi kekalutan hatinya yang bimbang. Bayang Andan dan Farlis bergantian berkelebatan di matanya. Seketika senyum tersungging, merasa konyol atas apa yang berlarian terus dibenaknya.

Sebenarnya, logikanya cukup terbuka untuk keputusan apa yang harus ia ambil. Meski hati masih terasa berat. Perang batin masih terus bergumul dalam dirinya, ia belum tahu siapa yang akan menang.

Coffee Shop LoveWhere stories live. Discover now