Chapter 1

187 7 2
                                    

Pada hari yang masih pagi, lamunanku telah terpaut padamu yang jauh. Mungkinkah kita akan dipertemukan kembali? Lalu aku dan kamu bukan menjadi kita yang sebiasanya. Tidakkah sedikitpun kau menghiraukan aku? Pernahkan terbesit di hatimu, namaku untuk akhirnya memiliki dan dimiliki olehmu. Cinta ini masih sama, sejak delapan tahun lalu. Saat aku pertama kali merasa getar. Hanya karenamu dan hanya untukmu

Secarik puisi, yang lebih tepatnya ungkapan isi hati, Aneta tuliskan di atas kertas tempat ia harusnya menuliskan pesanan. Hujan di jam sepuluh pagi pada bulan Januari itu mengantar suasana sendu dan jejak rindu, pada seseorang yang kini berada jauh di negeri seberang.

Matanya mengamati tetes-tetes yang jatuh, ia hitung. Sebanyak itukah rindunya pada sosok yang sedang ia kenang? Anet menopang dagunya dengan kedua tangan, ia semakin hanyut dalam lamunan.

-ooo-

Ting... lonceng kecil yang tertempel pada daun pintu berbunyi. Membuyarkan lamunan Anet pada hujan yang turun, yang ia pandangi lewat jendela bersekat dengan cat tosca. Pemilik "Coffee and Cookies" itu menoleh pada seseorang yang baru saja datang. Agak basah, karena ia tak mengenakan payung saat keluar dari mobilnya yang terparkir tepat di halaman depan cafetaria bernuansa vintage itu.

"Sepi..." sapanya pada Anet sambil menepuk-nepuk lengannya, berusahan menyingkirkan sisa hujan yang menempel pada pakaiannya.

Gadis berambut bob sebahu itu hanya mengangguk. Kala hujan datang apalagi di akhir pekan dan masih pagi, kota kecil di Bandung bagian barat itu memang biasa berubah seperti kota mati, sunyi dan sepi. Banyak manusianya senang berada di rumah, dibalik selimut tebal dan bermalas-malasan. Hanya satu dua saja yang berada di luaran. Yaitu mereka yang tak libur bekerja di hari Sabtu ataupun Minggu.

"Mau secangkir flat white?"

"Tentu, dan choco cookies yang semalam kamu buat ya!"

Anet bergegas menuju pantry. Menyiapkan pesanan dari Abell. Dia sahabat Anet sejak SMA. Seorang dokter yang baru saja membuka praktek, tempatnya kurang lebih satu kilo meter jauhnya dari cafe Anet. Jarak yang lumayan dekat, yang memungkinkan dia selalu mampir meminum coffee atau meminta teh hangat pada Anet. Ya, tak hanya kopi dan aneka pastry, Anet juga menyediakan teh disana sebagai menunya. Dia punya dua pelanggan setia untuk meminum teh camomile setiap sore di hari Minggu.

"Bagaimana hari ini? Banyak pasien?" Anet datang menghampiri Abell yang sudah menunggu di kursi dekat jendela, tempat tadi Anet melamun.

"Lumayan, dan tebak siapa salah satunya?"

"Siapa?"

"Ramon." Jawab Abell sambil tersenyum lebar.

"Haha, ya ampun dia lagi?!" Anet tertawa saat mendengar nama itu. Otaknya langsung memutar beberapa kejadian lalu yang diceritakan Abell. Saat baru saja sekitar satu minggu Abell membuka prakteknya. Ramon datang karena luka memar di hidung dan wajahnya. Dia terkena pukulan nyasar dari seseorang yang tak dikenal. Lalu keesokan harinya Ramon datang lagi. Dia sengaja meminum obat pencahar agar sakit perut dan datang berobat. Saat Abell bertanya keluhan rasa sakitnya. Ramon malah menunjuk bagian dadanya. Katanya dia sakit karena rindu. Rindu Abell.

"Tapi kali ini dia sakit beneran." Raut wajah Abell berubah sedikit sedih.

"Bukan modus seperti sebelumnya?".

Abell menggelengkan kepala, "dia terkena gejala tipus."

"Sepertinya kamu mulai suka sama dia," Anet menatap dalam pada mata Abell yang sendu. Abell tak menjawab apapun. Dia hanya tersenyum tanpa arti.

"Kalau aku sudah bertemu seseorang. Lalu kamu kapan?"

Pertanyaan Abell sedikit menohok hati Anet. Dia hanya memutar bola matanya sambil tersenyum, mengangkat bahunya sebagai isyarat entahlah.

Sejak sembilan tahun lalu, hati Anet telah terpaut pada seseorang yang tak mungkin dimilkinya. Dia tak pernah mengerti, mengapa begitu sulit berpindah ke lain hati. Laki-laki itu telah mengunci pintu hati Anet untuk terbuka bagi laki-laki lain. Padahal dia bukan kekasih Anet.

"Move on Net! Ini sudah tahun ke delapan." Abell tahu pasti siapa yang masih saja menahan Anet untuk tetap sendiri.

"Iya Bell, rasanya aku pun mulai lelah. Ini sudah sampai pada batas."

Suasana berubah menjadi dingin, sedingin hujan yang semakin lebat. Mengguyur kota kecil nan sunyi, tempat Anet masih menanti.

*ditunggu kritik dan sarannya readers... thanks ;)
*baca chapter selanjutnya yaa

Coffee Shop LoveWhere stories live. Discover now