58 - Counter Attack

2K 158 48
                                    

Beberapa bulan kemudian.

  Netra menatap kemeriahan pentas seni yang diselenggarakan oleh sekolahnya tahun ini. Ini adalah pentas seni di tahun ketiganya Netra menjadi murid di sekolahnya. Tahun ini, dia tidak ikut serta secara langsung di pentas seni kali ini. Sebagai murid kelas 3, Netra tidak diperbolehkan untuk menjadi panitia lagi. Karena kelas 3 difokuskan untuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional mereka. Pentas Seni kali ini bertemakan kebudayaan. Para panitia ber-cosplaydengan mengenakan baju adat daerah-daerah di Indonesia. Beberapa alat musik daerah tampil menyemarakkan acara. Lalu stand makanan daerah berjejeran di tenda yang disediakan. Pokoknya keren. Netra salut dengan kesungguhan adik kelasnya dalam melestarikan budaya bangsa.

  Netra jadi kangen saat-saat dia disibukkan oleh persiapan pensi. Lalu dia juga kangen saat-saat kebersamaannya dengan ketua pensi tahun kemarin. Hah. Sebuah helaan napas berat keluar dari bibir Netra. Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang sesak, menghimpit paru-parunya. Netra menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Dia tidak ingin berubah mellow kali ini.

  Bicara tentang pentas seni, dirinya langsung teringat pada sosok dan kenangan itu. Tahun keduanya sebagai anak SMA sangatlah berkesan. Selain karena dia mendapatkan kesempatan menjadi panitia pentas seni, dia juga sempat menjadi dekat dengan sosok yang mau tidak mau dia rindukan saat ini. Padahal sosok itu dulunya hanya dilihat dengan sebelah mata oleh Netra. Ingat kan, dahulu Netra lebih memilih untuk tidak berurusan dengan orang-dia-maksud. Namun malah dia sendiri yang menyeburkan dirinya dalam restricted area itu. Sehingga masa lalunya terusik dan hatinya terombang-ambing antara dua pilihan. 

  Tapi setelah masa lalunya melepaskan dirinya dan Netra menentukan pilihan, Netra malah memilih untuk berdiam diri saja. Tanpa pergerakan. Kalau berbicara masalah hati, Netra tetaplah Netra yang dahulu. Dia memilih untuk menjadi pihak yang diam dan menunggu si pria melakukan pergerakan. Secara dia masih berumur 18 tahun, perjalanannya masih panjang. Dia tidak baru terburu-buru, cukup nikmati prosesnya dahulu sembari menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Begitu yang ada di pikiran Netra.

  Netra berjalan sendiri, luntang-luntung mengelilingistand-stand yang dibuat oleh masing-masing ekstrakuliluler. Ketiga temannya—Ayu, Merlin dan Indah—baru saja mengabarinya kalau mereka terlambat datang ke acara pentas seni. Taksi yang mereka tumpangi tiba-tiba saja bocor bannya. Ceritanya ketiga temannya itu sehabis dari salon sementara Netra tidak ikut, sehingga Netra datang sendirian.

  Netra baru saja mengitari stand makanan daerah dan membeli beberapa potong srabi. Makanan itu dia habiskan sembari melihat-lihat stand lainnya. Hingga dia menghentikan langkahnya di depan stand anak teater. Netra mendecakkan bibirnya. Mereka menyuguhkan pertunjukan yang sama seperti tahun kemarin. Anak teater membuat sebuah rumah hantu lagi.

  Netra bersedekap di depan ruang kelas yang dijadikan tempat kejadian perkara rumah hantu. Matanya menyapu ke sekeliling hiasan-hiasan menyeramkan yang ditempel di pintu. Sebuah plakat tertempel di atas sana, bertuliskan; Jeritan Anda Kepuasan Kami.

  Mereka gila, umpat Netra dalam hati.

  “Mbak, mau masuk?” tanya seorang pria, penjaga pintu masuk rumah hantu. Netra tidak mengenali pria itu, jadi mungkin saja dia adik kelas. Penampilan pria itu dibuat menyeramkan dengan kaus dan celana selutut yang compang-camping, sobek. Ditambah lagi ada noda merah menyerupai darah yang sengaja ditumpahkan di beberapa tempat. Wajahnya pun dihias dengan warna-warna hitam sehingga dia menyerupai zombie.

  “Nggak,” tolak Netra mentah-mentah. “Senior kalian itu gila. Kenapa tahun ini kalian juga mengikuti jejak senior yang gila itu? Bikin rumah hantu lagi.” Netra berdecak. Tangannya masih setia terlipat di depan dadanya. Dia mengucapkan protes pada zombie si penjaga rumah hantu.

NetraWhere stories live. Discover now