Bab 2. Otak Pindah ke Dengkul

6K 369 18
                                    

    Siang ini Netra terdampar di kantin sekolahnya.
   
    Kantin sekolahnya adalah salah satu tempat tongkrongan terfavorit di sekolahan setelah kamar mandi. Tak menutup kemungkinan jika ada siswa yang bela-belain rajin ke sekolah hanya untuk nongkrong di kantin. Aroma berbagai macam makanan, kesibukan pedagangnya dan keruwetan para siswa yang berjejalan menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan lihat saja, para alumni kalau datang ke sekolah lamanya, pasti ujung-ujungnya ke kantin juga.
   
Dan Netra bukan jenis siswa yang suka nongkrong di kantin. Netra termasuk dalam salah satu siswa yang tidak suka ke kantin. Menurut Netra, kantin hanya sebuah sarana yang membuat kantongnya jebol karena dia termasuk cewek yang suka mengemil. Daripada dia laper mata dan tangannya menjadi tidak terkendali oleh jajanan yang berjejer minta disentuh di sana, Netra lebih memilih untuk nongkrong di depan kelas sambil kongkow-kongkow bersama anak-anak kelasnya. Kalau dia sedang beruntung, ada temannya yang bisa dimintai makanan. Dia penyuka makanan gratis. Secara teman-temannya kan baik. Mereka suka memberi jadi cocok dengan Netra yang suka meminta.

Siang ini berbeda. Netra merasa perutnya sangat lapar seolah dia baru berpuasa 23 jam lamanya padahal baru dua jam tadi dia menghabiskan sandwich yang dibawa Ayu. Oleh karena itu, setelah bel istirahat kedua berbunyi, dia langsung melesat ke kantin dan memesan sepiring siomay kesukaannya. Salah satu makanan yang top di kantin sekolah Netra. Rasanya mak nyuss, saus kacangnya luber di mulut kayak es krim, potongan siomay, tahu, telur, kentang dan kubisnya pun disajikan dalam porsi besar yang tidak pelit.
   
Siomay-nya datang bersamaan dengan kedatangan ketiga temannya— Ayu, Merlin dan Indah. Mereka menyerbu di meja Netra.
   
“Halo, Tante-tante. Eh, Merlin ... lo kenapa?” sapa Netra.
   
Merlin memang memasang raut cemberut ketika duduk di samping Netra.
   
“Gue ditolak Aldi,” akunya.
   
Uhuk. Belum juga berhasil menelan siomaynya, Netra sudah keselek. Pertanda buruk nih, batinnya.
   
Dia tidak salah dengar kan? Netra menajamkan kupingnya. Kali aja ada siomay yang nyungsep ke kupingnya jadi pendengarannya kurang jelas.
   
“Haha ... muka lo gitu amat.” Indah menepuk pipi Netra.
   
“Maksudnya nolak? Lo nembak Aldi?”
   
Beberapa pasang mata menoleh pada Netra. Ternyata suara yang dikeluarkan Netra barusan sedikit keras sehingga terdengar oleh siswa lain. Jadilah Netra digampar Ayu.
   
“Nggak usah di-loadspeaker juga mulut kamu, Net!”
   
Sorry.” Netra mengelus pipinya yang kena gamparan Ayu lalu dia mengulang pertanyaannya pada Merlin, “Lo nembak Aldi?”
   
Merlin mengangguk, malu.
   
Netra membulatkan matanya tidak percaya. Dia mengunyah siomaynya lalu menelannya dengan susah payah. Apa temannya satu ini sudah tidak waras? Iya, Netra tahu ini zaman emansipasi wanita. Tapi menembak seorang cowok? Emm ... Netra kok tidak setuju dengan ide itu ya. Di mana-mana itu sperma yang mengejar-ngejar sel telur. Belum pernah dia mendengar cerita sel telurnya yang mendatangi sperma.
   
Netra menggelengkan kepalanya. Zaman memang serba terbalik. Ini yang dinamakan kaki di kepala, kepala di kaki. Otak pun yang awalnya di kepala jadi pindah ke dengkul.
   
“Tadi pas istirahat jam pertama. Gue bilang kalau gue fans beratnya. Terus gue tanya boleh nggak, gue jadi pacarnya. Eh, dianya nggak mau.” Merlin menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
   
Netra mencibir, “Ih, dasar elo aja yang goblok.” Netra berbicara enteng seraya menelan kunyahan siomaynya.
   
Ketiga teman Netra tidak menanggapi ucapan Netra sehingga dia keki sendiri.
   
“Aldi ngomong gimana, Mer? Pas hmm ..., nolak kamu?” tanya Ayu.
   
Merlin berdeham-deham, “Sorry, Mer. Ada cewek yang gue suka. Sorry banget ya.”
   
“Iyuuuh ... keren!” sahut Ayu dan Indah bersamaan.
   
Netra mendengus sebal. Konyol. Ditolak kok keren. Dari sudut mana kerennya coba?
   
“Iya kan? Gue jadi tambah nge-fans. Walaupun dia nolak gue, tapi nolaknya so sweet.
   
Heh, dari mana sisi so sweet-nya? Netra menggeleng-gelengkan kepala.   

Menurutnya, yang namanya so sweet itu kalau Aldi menerima pernyataan cinta Merlin. Lalu mereka berpacaran dan hidup berbahagia seperti cerita dongeng.
   
Dasar buta, tuli, dan dungu!
   
“Ya ampun pangeranku. Kenapa ada lelaki sesempurna elo, sih?” Indah meracau. Ketiga teman Netra ini langsung terdiam, larut dalam khayalannya masing-masing. Khayalan tentang pangeran yang turun dari kuda putih sambil membawa pedang panjang. Kalau berjalan prok prok prok.
   
Netra memutar matanya bosan. Rasanya dia salah pergaulan. Kenapa dia bisa terjebak di tengah-tengah para penyidap Aldi fever.
   
Bosan. Bosan. Netra Bosan. Tadi pagi Ayu cerita tentang Aldi, sekarang Merlin pun demikian. Temannya itu bercerita tentang Aldi juga. Makin sebal rasanya Netra pada Aldi. Netra jadi tidak berselera pada siomaynya lagi.
   
Ya iyalah, secara siomay di piringnya sudah dia habiskan.
   
Netra mencibir, “Apaan sih kalian, Aldi terus yang dibicarakan. Apa bagusnya sih dia?”
   
“Buka mata, buka hati dan buka telinga deh, Net.” Ayu mencubiti pipi Netra gemas. Dasar Netra yang suka cari gara-gara, dia malah menutup mata lalu telinganya.
   
“Nyolot lo, Net. Orang yang nggak suka sama Aldi mending diem, nggak usah protes!” lanjut Indah.
   
Bertepatan dengan berakhirnya kalimat Indah, Aldi datang mendekati Netra. Entah dia datang dari arah mana sehingga hawa manusianya tidak terdeteksi oleh mereka. Jantung Netra, Ayu, Merlin, dan Indah langsung dag dig dug duer.
   
Trio Aldi fever menjadi deg-degan karena pangeran pujaannya ada di jarak kurang dari satu meter dari mereka. Sedangkan Netra deg-degan karena khawatir Aldi mendengar pembicaraan mereka. Bagaimanapun Netra tidak ingin Aldi memergoki Netra sedang membicarakannya. Ih, Netra jadi bergidik ngeri membayangkan apa yang akan Aldi pikirkan.
   
Aldi berhenti tepat di samping Netra. Dengan takut-takut, Netra mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Aldi.
   
“Net, nanti ada rapat OSIS sepulang sekolah,” kata Aldi. Ternyata Aldi mendatanginya secara langsung untuk memberikan informasi itu.
   
Lalu pria itu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Netra. Ih, sombongnya, gerutu Netra dalam hati.
   
Ketiga temannya mengembuskan napas panjang. Nampaknya ketiganya tadi tengah menahan napas ketika Aldi datang.
   
“Uh ... suaranya bikin meleleh.”
   
Netra menggerutu. Dia meraih minuman kalengnya lalu meremas kaleng itu saking sebalnya. Namun, sayang sekali. Kaleng yang diremas dengan penuh tenaga itu tetap utuh. Kalau saat ini Netra ada di dunia komik pastilah kaleng tersebut sudah hancur menjadi dua dan isinya muncrat ke muka ketiga temannya.
   
Belum reda emosi Netra, ponselnya bergetar. Ada pesan yang masuk, Netra membukanya.

    Aldi : Oya, kasih tau ke anggota lain kalau nanti ada rapat OSIS.

   
Netra menggeram kesal. See?
   
Lihat sendiri kan?
   
Ketua OSIS kurang kerjaan. Ngapain dia harus nyamperin gue ke kantin kalau akhirnya SMS juga? Mau nampang di depan fans-nya, hah? Biar dibilang bijaksana, cool, dan mempesona? Dasar tukang tebar pesona!

***

NetraWhere stories live. Discover now