Bab 45 - Pathetic

2.3K 159 17
                                    

Puluhan bahkan mungkin ratusan orang tumpah ruah, memadati tempat pembelanjaan terbesar di kota ini. Mereka mendatangi tempat tersebut dengan kepentingan mereka masing-masing. Ada yang datang dengan niat awal untuk belanja. Ada yang sekedar mencuci mata dan refreshing. Ada juga yang kumpul-kumpul dengan teman mereka. Sebagian ibu-ibu muda juga mengajak serta anak mereka untuk bermain di wahana permainan yang berada di dalam mall. Beberapa lainnya datang ke sana untuk makan siang. Lalu sisanya mungkin karena sedang tidak ada kerjaan dan malas untuk ke rumah. Selain itu masih ada beberapa alasan lain yang membuat mereka memang harus menginjakkan kakinya di lantai mall yang dingin.

Biarlah Aldi menjabarkan salah satu dari alasan lain orang-orang yang terpaksa harus masuk ke dalam mall. Dirinya sebagai seorang lelaki sudah mempunyai kodrat tidak tertulis yaitu menemani kaum perempuan berbelanja di mall. Aldi kembali pada tugasnya menemani perempuan jalan-jalan di mall setelah beberapa bulan lalu kegiatannya ini sudah dia tinggalkan. Padahal semenjak kesibukannya mempersiapkan pentas seni, dia hampir tidak pernah memasuki tempat ini. Aldi sudah hampir lupa bagaimana bau dan rupa mall. Bukan hanya itu, sejak beberapa bulan yang lalu bahkan dia lupa pada kebiasaan buruknya untuk bergonta-ganti pasangan.

Ah, pentas seni. Aldi jadi teringat pada seorang gadis. Seorang gadis yang mulanya sama sekali tidak dekat dengannya dan mengambil jarak padanya. Namun perlahan-lahan sering muncul di otak Aldi. Lama-kelamaan keberadaan gadis itu sering dia cari-cari. Segala macam umpatan, gerutuan, bentakan dan tingkah laku unik dari gadis itu selalu dia tunggu-tunggu.

Kalau dirunut dan dia ingat-ingat kembali, kebiasaan buruknya itu berhenti semenjak menemukan Netra sedang menguping di belakang gedung sekolah. Setelah itu dirinya terlalu sibuk untuk mengurusi pentas seni dan terlalu hanyut dalam permainan Netra.

Kalau bukan rengekan manja dari Marsha, Aldi tidak akan mau mengantar Marsha ke tempat ini. Aldi tidak sedang mempunyai kepentingan ke tempat tersebut. Dia juga bukan orang kurang kerjaan yang mencari-cari kesibukan dengan berputar-putar di tempat belanja modern tersebut. Tapi selama di sekolah tadi, Marsha sudah beberapa kali mengiriminya pesan berisi ajakan untuk ke mall. Namun Aldi tidak juga membalas. Aldi hanya membaca dari notification bar dan membiarkan pesan dari Marsha dalam keadaan seperti belum dibaca. Sehingga Marsha langsung menelepon Aldi ketika jam pulang sudah tiba. Marsha tentu tahu pukul berapa kiranya pelajaran di sekolah Aldi berakhir.

Aldi baru saja keluar dari ruang komputer saat ponselnya berdering. Ketika melihat nama Marsha muncul di layar, sempat dia ragu untuk menjawab. Dia mendiamkan ponselnya beberapa saat sampai bunyinya menghilang lalu layarnya mati. Dalam hati Aldi menghitung. Satu ... dua ... tiga ....

Lalu dering itu muncul bersamaan dengan layarnya yang kembali menampilkan nama Marsha.

"Ada telepon kok hanya dilihatin aja. Kok nggak dijawab teleponnya, Di?" Seorang guru yang sedang lewat di depan Aldi menegur Aldi.

"Iya, Pak. Ini juga mau saya terima teleponnya," sahut Aldi.

"Pacar kamu, ya? Lagi berantem ya?" goda gurunya. Lalu guru tersebut melanjutkan langkahnya sambil tertawa-tawa. "Ah, jadi kangen masa-masa muda dulu."

Aldi hanya meringis ketika digoda oleh gurunya yang sok tahu. Dia menatap layar ponselnya yang masih menyala. Akhirnya dia menerima panggilan Marsha juga supaya gadis itu tidak terus-terusan meneleponnya.

"Aldi, temenin aku ke mall, aku mau cari baju dan sepatu buat acara ulang tahunnya temen aku. Aku nggak punya baju sementara acaranya itu besok hari Minggu. Oh My God, aku harus nyalon juga." Begitulah serentetan kalimat panjang kali lebar kali tinggi yang diucapkan Marsha, sesaat setelah Aldi mengucapkan kata halo. Tanpa jeda, sehingga Aldi tidak bisa menyela di tengah-tengahnya.

NetraWhere stories live. Discover now