BAB 39 Recollection

2.8K 182 15
                                    


Perlakuan manis yang diberikan Aldi kemarin malam membuat Netra mengingat seseorang. Walaupun Netra merasa dipermainkan Aldi, tetap saja, sudah lama Netra tidak menerima hal-hal manis dari lawan jenis.
 

“Ini pesanannya, Mbak. Silakan menikmati,” ucap seorang pelayan perempuan dengan senyumnya yang hangat. Pelayan itu menaruh segelas cokelat hangat di meja Netra.

  Netra mengangguk sambil membalas senyum pelayan tersebut. “Terima kasih, Mbak.”

  Pelayan itu membalas dengan anggukan lalu berbalik menuju tempat kerjanya. Masih ada pesanan lainnya yang harus dia antar. Netra mengamati pelayan tersebut. Wajahnya tidak ada dalam ingatan Netra. Pelayan itu masih muda, mungkin dia adalah pekerja paruh waktu yang baru di kafe ini. 

  Lalu mata Netra beralih dari pelayan perempuan ke interior kafe. Banyak yang berubah di kafe ini. Semuanya sudah dirombak mengikuti trend anak muda jaman sekarang. Interiornya semakin keren dan terlihat cozy dibandingkan dengan saat dulu. Warna temboknya berubah. Dulu, seingat Netra, ketika dia masih sering kemari, kafe ini berwarna putih bersih. Sekarang cat temboknya berganti warna menjadi cokelat muda. Tempat duduknya pun dirubah menjadi sofa supaya pengunjungnya lebih nyaman berada di dalam kafe. 

  Salah satu yang tidak berubah dari kafe ini adalah namanya. Kafe ‘Nyokelat Doeloe’ namanya. Papan nama yang dipampang di luar sana pun tidak berubah.

  Pun dengan Netra. Ada yang tidak berubah dengan Netra yaitu pesanannya. Sama seperti dahulu, dia selalu memesan segelas cokelat hangat di kafe ini. Di tempat duduk yang sama juga. Di pojok belakang dekat jendela sehingga Netra bisa leluasa mengamati kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya. 

  Awalnya Netra ragu untuk masuk ke dalam kafe ini, namun langkah kakinya berjalan dengan sendirinya. Mereka seolah tertarik dengan medan magnet yang kuat yang berada di dalam kafe ini. Medan magnet bernama kenangan. Dan seolah semesta memang sedang memberi ujian pada Netra. Ketika dia memasuki kafe, dia melirik ke tempat duduk yang dahulu biasanya dia tempati. Hanya tempat itulah sedang kosong saat ini. Padahal tempat duduk lain penuh berisi dengan pengunjung. 

  Konspirasi alam semesta yang berhasil meremas jantung Netra saat itu juga. Netra merasa ada yang sedang mempermainkannya. Alih-alih berbalik arah untuk pulang, Netra malah mendatangi tempat itu. Dia seakan menantang siapapun yang sedang mempermainkan dirinya. Dia mempertaruhkan sebuah ingatan yang sudah dia tutup secara paksa.

  Netra mengangkat gelasnya. Asap yang mengepul dari cairan yang berwarna cokelat itu menggugah hidungnya untuk menghirupnya. Netra menutup matanya supaya dia bisa benar-benar menikmati aroma cokelat. Sungguh aroma yang memabukkan. Netra sangat menyukai aroma cokelat. Manis rasanya.

  Dia memang selalu menghirup bau dari minuman cokelat sebelum meneguknya dengan perlahan. Sebuah kebiasaan yang sering menjadi bahan ejekan seseorang.

  Seseorang yang biasanya menemaninya di sini dengan secangkir kopi hitam pekat di depannya. Netra menyesap cokelat hangatnya lalu menaruhnya kembali di atas meja. Dia menggenggam gelas dengan kedua tangannya.

  Satu … dua …, Netra menghitung dalam hati.

  Rasanya sudah dua tahun lebih sejak terakhir kali dia datang ke kafe ini. Cukup lama juga ya? Lalu kenapa dia harus kembali lagi kemari jika sudah dua tahun lebih dia berusaha menghindari tempat ini?

  Dulu, dia dan seseorang itu sering saling mencicipi minuman masing-masing. Netra selalu memesan berbagai jenis minuman cokelat di daftar menu sementara seseorang di sampingnya selalu memesan kopi. Mereka mendekatkan cangkir mereka lalu bergantian mencicipi. Netra selalu mengernyit ketika dia mencoba kopi hitam pekat yang dipesan seseorang di sampingnya. Netra sering memprotes supaya dia tidak memesannya lagi. Namun seseorang itu sering memesan kopi hitam kalau dia sedang jahil. Walhasil malamnya Netra akan kesulitan tidur.

NetraWhere stories live. Discover now