8. Karena Siapapun Juga Bisa Lelah Memperjuangkan

104 20 2
                                    

8. Karena Siapapun Juga Bisa Lelah Memperjuangkan

"Boleh saja kamu berlari terus menerus sewaktu sedang kuperjuangkan. Tetapi, ingatlah aku ini juga bisa lelah. Kapanpun bisa bertemu orang yang akan mengingatkanku untuk menyerah. Berhenti mengharapkanmu yang tak peduli padaku yang sedang mempertahankan 'kita' dengan susah payah."

⌂⌂⌂⌂

Azilia melirik jam tangan yang terpasang manis di tangan kirinya. Benda berwarna merah mudah itu sudah menunjukkan bahwa waktujam istirahat kedua sudah berlalu sejak lima belas menit yang lalu, dan Kala belum juga menampakkan dirinya.

Dia tahu bahwa kemarin dia sempat mengalami keadaan yang kurang mengenakan, tetapi kemarin Kala tetap menghubunginya dan mereka tetap chattingan meski Azilia menjawabnya dengan kesal.

"Balkos woi, balkos!" kata Bocil yang sedang berjongkok karena kalah putaran pertama sewaktu main domino. Balkos yang dia maksud ini adalah singkatan balak kosong.

Sambil menunggu Kala, Azilia melihat teman-temannya memainkan batu-batu berwarna hijau dengan lukisan jumlah angka di bagian depannya itu. Meli, Bocil, Sinta, dan Putri yang memang sudah acap main batu pun sudah terbiasa kalau diperhatikan.

Bosan, Azilia mencelutuk. "Sin? Abang lo suka cewek yang main batu nggak, sih?"

Mendadak, Bocil langsung mesem-mesem.

"Nggaklah, kan gue udah bilang kalau abang gue demennya sama dokter," kata Sinta.

Azilia melirik Kala. "Gue anak PMR, kira-kira abang lo suka nggak, ya?"

Sinta tergelak. "Mungkin-mungkin aja. Lagian lo kan cantik, bisalah sama dia."

"Siapa?" Bocil bertanya.

"Azi, kan cantik."

"Yang nanya!" seru Bocil sebal, dia kemudian bersorak menang saat mengetahui anak batunya sudah masuk semua dan dia menjadi pemenang. "Wes, emang ya, kalo lagi main batu gini terus nginget abang Sinta, gue langsung beruntung. Berarti, gue emang jodoh sama dia."

"Zi? Lo nggak ke kantin?" Putri bertanya saat menyadari Kala sudah terlalu lama untuk dikategorikan terlambat menjemput Azilia. "Nggak laper lo?"

Sebenarnya, Azilia laper banget. Tetapi, biasanya jam istirahat kedua dia makan bareng Kala di kantin. Makanya, dia cukup kaget untuk pertama kalinya, Kala terlambat menjemputnya.

"Eh, Cil!" seru Meli menunjuk ke halaman depan kelas. "Andri lewat!"

Nah kalo Andri ini, anak lokal sebelah yang Bocil taksir juga. Badannya tinggi, putih, dingin. Dari kelas sepuluh nggak pernah keliatan deket sama cewek manapun.

"Astaghfirullahal adzim," Bocil kelabakan, langsung berdiri dan menutupi batu yang sedang dipegangnya. Namun, gagal karena Andri sudah keburu melihatnya.

"Yah, gagal deh lo jadi istri idaman Andri. Istri macam apa yang doyan main batu," ledek Azilia, membuat Bocil cemberut.

"Andri menerima gue apa adanya kok," kata Bocil. Sudah berusaha santai karena toh Andri sudah lewat dan tidak di depan kelasnya lagi.

"Gue kebayang deh kalo Bocil nikah sama Andri nanti, terus Bocil hobi main batu gini, gimana ya hubungan keluarga mereka?" Sinta nyengir tidak bersalah saat Bocil memelotitinya.

"Gampang. Nanti nih ya, kalo suami gue nanya, 'Dek? Masak apa hari ini'?" Bocil memasukkan balak empatnya ke barisan. "Terus gue tinggal jawab dengan gampang, 'Masak gulai domino, Bang'."

ReabsorbWhere stories live. Discover now