3. Kamu Terluka

151 20 3
                                    

"Tidak ada kamu lagi hari ini. Tidak ada kita lagi hari ini. Kamu, Kita, dan kenangan itu hanyalah kesudahan-kesudahan yang kuanggap berarti dan tak kau anggap apa-apa lagi. Lalu, apalagi? Bukankah sudah jelas kau menyuruhku beranjak pergi dan melupakan kisah ini?"

⌂⌂⌂⌂ 

H

al yang paling bisa bikin mood Azilia berubah drastis selain para biasnya, adalah akuntansi. Sebenarnya, dia suka pelajaran itu, apalagi kalau berhasil menyocokkan beberapa rumus ke dalam hitung-hitungan bisnis dan uang-uang.

Yang bikin males itu kalau udah dikasih soal yang referensinya butuh lebih dari satu buku paket. Alhasil, Azilia harus rela ke perpustakaan yang letaknya jauh dari tanda-tanda kehidupan di sekolah. Azilia bilang begini karena popularitas siswa yang datang ke perpus itu kalau nggak penting-penting amat, cuma anak-anak kutu buku.

"Laper, Sin?" Azilia tertawa saat dia tengah berusaha meraih buku akuntansi yang ada di rak paling atas, dan mendengar suara perut Sinta, teman sebangkunya. Biasanya, Azilia kalau ke perpus sepulang sekolah, bisa ajak Kala dan suruh cowok itu mengambilkannya. Tetapi memelas, masa iya dia harus terus bergantung pada Kala?

"Niatnya gue irit jajan mau beli merchandise Wanna One yang baru, Zi." Sinta sambil memegangi perutnya. "Tapi selera emang nggak bisa ditahan, ya? Sialan banget itu adik kelas yang lewat sambil bawa mie goreng, laper gue rasanya."

"Yaudah, lo ke kantin aja," kata Azilia, tidak tega membiarkan Sinta kelaparan. "Berani kan ke kantin sendiri?"

"Gue mah berani-berani aja, Zi," kata Sinta, lalu dia menilik pandangan pada Azilia. "Lo tuh, yakin nanti mau balik ke kelas sendirian? Biasanya gerombolan Giga di ujung koridor perpustakaan, kalau lo digangguin nanti gimana?"

Azilia tergelak pelan. Perpustakaan cukup hening, dia tidak mau suara tawanya terdengar oleh orang lain. "Emang kalau gue jalan bareng lo, mereka nggak bakalan gangguin gue? Sama aja kali Sin, mau gue bareng lo ataupun enggak, gerombolan itu tetep bakalan ganggu kalau niatnya emang mau ganggu."

"Serius nih nggak apa-apa?" Sinta nggak mau munafik, dia juga sudah kesulitan menahan lapar. "Tapi gue nggak enak nih, serius deh."

"Iih nggak apa-apa!" Azilia menutup bibirnya karena mau ngakak melihat wajah Sinta sekarang. "Nanti lo pinjem buku paket gue aja, udah sana ke perpus."

"Yakin lo berani lewat gerombolan Giga sendirian?" tanya Sinta sekali lagi, dan Azilia mengangguk mantap.

Kalau dengan cara itu gue bisa liat Abgari, nggak apa-apa, Sin, gumamnya terdengar miris untuk diri sendiri.

"Yaudah deh ya!" Sinta nyengir malu. "Gue ke kantin dulu, sori banget nih ninggalin lo."

"Yaelah, udah biasa ditinggalin sama doi ya, Sin? Makanya nggak enak gitu ninggalin gue?" kekeh Azilia, maksudnya bercanda, tetapi Sinta yang sudah berjalan menunjukkan kepalan tangannya ke arah Azilia seolah-olah mau menonjok.

Setelah Sinta luput dari pandangan Azilia, baru dia sadari betapa dia ceroboh membiarkan Sinta secepat itu ke kantin. Menggigit bibir bagian bawahnya, Azilia menoleh ke segala arah, mencari seseorang yang bisa menolongnya mengambilkan buku akuntansi yaag entah kenapa tinggi sekali.

Namun, seperti yang sudah dikatakannya, perpustakaan sekolahnya benar-benar sepi. Di koridor tempat Azilia berdiri bahkan tidak ada orang.

Menghela napas, Azilia memutuskan untuk meminta bantuan kepada anak KIR Kebumian yang sempat dilihatnya sedang belajar bersama di ruangan depan.

ReabsorbWhere stories live. Discover now