[10] Sepotong Muffin (II)

56 15 30
                                    

LAH, mau kemana? Hey!”

Layaknya orang tuli, Amala tetap melangkah tanpa mempedulikan Melvin yang sejak tadi mengajaknya bicara. Suasana koridor sedang sepi, karena ini masih terlalu pagi bagi siswa-siswi di SMA SS untuk datang ke sekolah. Tapi tidak untuk Amala. Begini-begini, ia rajin datang pagi. Kalau tidak untuk menyalin tugas, ya pasti sarapan di kantin.

“Kelas lo bukannya di sana, ya?” Melvin tidak menyerah. Cowok itu tetap mengikuti langkah lebar Amala. Ia menunjuk-nunjuk ruang kelas 11 IPA 1, dan mengernyit bingung ketika melihat Amala melangkah menuju arah berlawanan.

“Itu Muffin-nya mau di kemana'in?” Kali ini, tangan cowok itu menunjuk box Muffin—yang nyaris sudah tidak berbentuk—dalam genggaman Amala.

Merasa diabaikan, Melvin mendengus dan mempercepat langkahnya. “Besok gue bawain korekan telinga, deh. Janji.”

Masih sama. Cewek itu sama sekali tidak menanggapinya. Bahkan melirik pun tidak. Melvin jadi gemas sendiri. Dirinya benar-benar terlihat seperti orang bodoh yang mengajari manekin cara berbicara. Tatapan aneh pun tak luput didapat keduanya dari segelintir siswa yang lalu-lalang di koridor ini.

Meskipun begitu, Melvin tetap berusaha mengimbangi langkah lebar Amala. Padahal ia sendiri sadar jika cewek itu terlihat tidak nyaman berada di dekatnya.

“Jangan diseret-seret dong guenya. Aduh,” rintih Melvin, berusaha mendapat perhatian cewek itu. Melvin berjalan dengan langkah diseret-seret, seolah-olah Amala yang menyeretnya paksa. Padahal sedikit pun mereka tidak bersentuhan.

Dan ternyata mempan. Amala menoleh dan melirik cowok itu. Sekilas. Setelahnya, pandangan cewek itu kembali lurus ke depan. Ia mendengus samar.

Ini emaknya kemana sih?! Pusing gue.

“Lo sekelas sama Dhanu ‘kan?”

Secara otomatis, langkah lebar Amala berubah memelan. Sekilas, wajah cewek itu terlihat kaku. Ia kembali menoleh pada Melvin yang tengah menyengir kuda. Tentu saja, cowok itu pasti merasa puas karena telah berhasil mengubah tempo langkah Amala.

“Dhanu kembarannya Denta. Pasti tau ‘kan?” sambungnya.

“Maaf. Bukan urusan Lo.”

“Eh, ehh—” Melvin buru-buru menyela sebelum cewek itu kembali melangkah lebar dengan wajah ditekuk. Dan itu benar-benar tidak enak untuk dilihat.

“APALAGI SIH?” sergah Amala. “Tolong. Jangan. Ikutin. Gue,” ucapnya, penuh penekanan.

“Tapi, itu...”

“Apaan?” Amala kembali menyahut, berusaha terlihat sabar walau dalam hati ia sangat ingin merebus manusia bernama Melvin ini.

“Nama lo siapa...?” cicit Melvin. Tiba-tiba saja nyalinya menciut ketika Amala melayangkan tatapan mematikan untuknya.

Mata cewek itu memicing, menatap Melvin yang tengah memainkan jemarinya dengan tatapan tidak percaya. “Bego nggak, sih? Lo ngasih kacamata, Muffin segala macem, tapi nggak tau nama si penerimanya?”

“Emang gue harus tau dulu?”

“Bodo!” Amala melengos dan kembali melanjutkan langkah lebarnya, sedikit menyesal karena telah membuang-buang waktunya untuk meladeni manusia yang senantiasa mengekor di belakangnya. Persis seperti anak ayam.

“Tinggal nyebutin nama doang, emang bisa bikin lidah Lo keseleo, keram kesemutan, trus kejang-kejang?”

Demi tuhan, Amala sangat ingin menyumpal mulut cerewet Melvin dengan box Muffin ini secara utuh-utuh.

MavinWhere stories live. Discover now