[00] PROLOG

159 37 39
                                    

KABUT tipis menyeruak melewati celah-celah lembah itu. Beterbangan mengikuti arah angin dan menyapa wajahku lembut. Sengaja kubiarkan jendela mobil terbuka lebar agar hawa dingin lebih leluasa menyelinap ke dalam mobil. Berkali-kali Papa memperingatiku agar segera menutup jendela mobil. Aku tak menggubrisnya. Setidaknya dengan ini, aku bisa sedikit lebih tenang.

Untuk saat ini saja.

Mobil Papa melaju membelah jalanan berliku yang selalu kami lewati setiap enam bulan sekali. Pemandangan alamnya masih sama, meski pun aku tidak benar-benar memperhatikannya, tapi aku yakin, tidak ada yang berubah. Walau tidak dengan keadaan hatiku.

Aku menatap kosong pada jalanan itu. Memandang deretan toko oleh-oleh dan kios strawberry yang terlihat mengabur begitu saja saat melewatiku. Seolah-olah mereka berkejaran dengan mobil Papa. Aku jadi ingat, Mama sangat suka strawberry. Beliau pasti selalu menyempatkan diri untuk mampir di salah satu kios langganannya.

Mengingat sepotong kenangan bersama Mama membuatku menghela napas panjang. Untuk beberapa alasan, dadaku terasa sangat sesak. Tanpa sadar, aku meremas sabuk pengaman sampai buku-buku jariku memutih.

Sesaat kemudian, kupejamkan kelopak mataku yang terasa hangat. Membiarkan udara dingin dengan bebas menabrak wajah bulatku. Aku mulai membiasakan diri dengan rasa dingin yang perlahan terasa menusuk tulang. Tanpa dapat dicegah, air mata menitik begitu saja dari kelopak mataku yang masih tertutup.

Aku bisa merasakan jika Papa berkali-kali melirik ke arahku dengan wajah yang cemas. Aku tahu, saat ini keadaanku sangatlah kacau. Sama kacaunya seperti Papa. Dan alasan kita sama ...

Karena Mama.

Membayangkan rumah Nenek yang saat ini dipenuhi oleh orang-orang berbaju hitam, membuat bahuku semakin bergetar. Aku membuka kelopak mata, dan kembali terisak. Rasa dingin itu lenyap seketika. Menyisakan rasa perih yang menyerang dadaku bertubi-tubi.

Aku menangkup wajah, menangis sejadi-jadinya di balik tangan mungilku. Sedetik kemudian, kurasakan sebuah tangan yang kuyakini milik Papa, menarik kepalaku ke dalam pelukannya. Aku semakin terisak. Napasku tidak beraturan. Tangan kekar Papa mengelus lembut puncak kepalaku.

Sekilas, aku mendongak, melirik Papa yang masih menatap lurus ke arah jalanan di hadapannya, dengan tangan kiri masih mengusap kepalaku dan tangan kanannya memegang setir kemudi. Ekspresinya tidak terbaca. Meski begitu, aku sangat yakin jika Papa tidak baik-baik saja. Aku tahu, di balik tubuh atletisnya yang dibalut kemeja hitam,

Papaku sangatlah rapuh.

««Mavin»»

Finally! Cerita kedua aku setelah Tauben Girl. Aku harap cerita ini sedikit lebih jelas dibanding cerita aku yang sebelumnya.

Dan maaf banget kalo Prolognya berantakan :(
Honestly, aku paling nggak bisa buat prolog :'

Dan yang paling menyedihkan selanjutnya adalah .... sekarang malam minggu😶

MavinDove le storie prendono vita. Scoprilo ora