[04] Ini Nyata

66 23 44
                                    

“YANG betah ya, sama mama. Jangan macet lagi, oke?”

Amala mengelus-elus ujung pulpennya dengan sayang, seolah pulpen itu adalah anaknya. Begitulah Amala, terlalu sayangnya dengan barang, sampai-sampai otaknya menjadi geser beberapa senti dari yang seharusnya. Sama seperti sayangnya pada Dhanu.

“Otw hilang,” ucap Risha, dengan nada mengejek.

Amala tersenyum penuh arti. “Nggak apa, deh. Kalo ilang ‘kan bisa minjem sama Dhanu lagi.” Ia memasukkan pulpen itu dalam kotak pensilnya.

Omong-omong soal pulpen, ia jadi ingat kejadian kemarin siang. Saat dirinya dibangunkan oleh Dhanu dari mimpi indahnya bersama cowok itu hanya karena sebuah pulpen. Amala jadi membayangkan bagaimana jadinya jika Dhanu memiliki pacar, pasti akan disayang seperti pulpen itu. Atau paling tidak, ia ingin berubah wujud menjadi pulpen itu.

“Kebiasaan, suka senyum-senyum nggak jelas,” ucapan Risha berhasil memecahkan lamunan yang berkeliaran di kepala Amala.

Amala mengernyit samar. Apakah selama ini ia sering tersenyum sendiri sampai-sampai Risha menganggap itu suatu kebiasaan? Sudahlah, ia tidak peduli. “Kaya nggak tau aja lo,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Risha menarik tangan Amala dengan tidak sabar. “Buruan, Mal. Laper.”

“Bentar, deh.” Amala mengedarkan pandangan. Bola matanya tergerak untuk mencari sosok yang berhasil menerbitkan satu lagi kebiasaan bodohnya. Sosok yang beberapa menit lalu menjadi topik dari lamunan Amala.

“Dhanu mau ikut?” tanyanya pada cowok yang duduk di bangku paling depan dekat meja guru.

“Enggak. Gue ada urusan,” jawab Dhanu sekadarnya, persis seperti dugaan Amala. Jawaban yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Jawaban tanpa nada tertarik sedikitpun. Bahkan rasanya Dhanu tidak peduli dengan perubahan ekspresi cewek itu saat ini.

Sepasang mata hazel milik cowok itu menatap serius pada layar handphonenya. Seolah-olah jika sekali saja ia berkedip, maka benda itu akan lenyap dari genggamannya.

“Oke. Yuk, Sha.” Amala mengangguk pelan, memaksakan seulas senyum meski Dhanu tidak meliriknya sedikit pun.

“Masih, aja. Udah tau doi nggak pernah ‘iya-in’ tawaran lo,” ucap Risha pelan. Mereka melangkah keluar kelas menuju kantin.

“Namanya juga usaha.” Amala terkekeh kecil. Ia sendiri ragu menyebut ‘ajakannya pada Dhanu untuk makan bareng’ sebagai usaha.

“Terserah situ aja, deh.”

Amala menatap sekeliling kantin yang tampak lengang hari ini. Mungkin karena kelasnya yang sepuluh menit lebih cepat mendapat istirahat. “Lo yang pesen, ya. Gue mager.”

“Lo nggak mager pun, ujung-ujungnya emang bakal gue yang pesenin,” sahut Risha setelah mendaratkan bokongnya di salah satu kursi kantin.

“Risha tambah cantik, ih. Wangi lagi. Kapan-kapan gue kenalin ke Denta, deh.” Amala tersenyum lebar. Matanya sengaja dibuat berbinar-binar.

“Kok jadi Denta?”

“Lo naksir Denta ‘kan?”

Risha menghembuskan napas kesal. “Sip. Lo pesen sendiri aja.”

“Lah lah—”

“Udah, sana! Gue ngambek.”

“Ya udah, sama TEMEN-nya, bukan Denta-nya.” Amala mendorong tubuh cewek itu. “Buruan. Tadi katanya laper.”

“Iya, iya, bawel.” Risha pun pergi memesan dua porsi nasi goreng telur ceplok atasnya plus mie goreng di sisi kanan dan kiri piringnya. Kata Amala, biar kaya gambar orang berambut keriting gitu.

MavinWhere stories live. Discover now