BAB 44

83K 10.8K 1.6K
                                    

ADA banyak hal yang terjadi dalam hidup Sandra. Ada yang tidak ia inginkan, ada yang ia inginkan. Tentunya, hal yang sekarang terjadi bukanlah keinginan Sandra. Sama sekali bukan.

Sandra terbangun dengan kepala yang terasa sangat pusing. Seolah ingin pecah. Matanya terasa kabur, namun ia yakin sekarang berada di dalam mobil yang tengah berjalan dengan kecepatan tinggi. Jalan tol. Sandra berusaha mengerjapkan matanya lagi dan menggerakkan badan. Tapi percuma. Seolah badannya sekarang lumpuh. Mau sekuat apa pun Sandra menggerakannya, tidak ada yang bergerak. Hanya jemarinya saja yang bergetar, melawan, namun hanya sebatas itu usahanya.

Di mana Zanna? Apa yang terjadi setelah itu? Dengan siapa sekarang Sandra berada? Apa Zanna baik-baik saja? Bagaimana syuting? Apa orangtuanya sekarang sedang cemas setengah mati? Apa yang harus Sandra lakukan? Ribuan pertanyaan tidak terjawab itu sekarang bercokol di pikiran Sandra, membuatnya takut akan apa yang terjadi selanjutnya.

"Udah bangun?" sebuah suara tanya itu membuat jantung Sandra seperti berhenti berdetak. Suara itu sangat familiar di telinga Sandra. Suara yang selama dua tahun ini menyemangati Sandra di dunia akting, menenangkannya, dan memberi penghiburan.

Sandra ingin mengucapkan, 'Yudith...?', namun, Sandra tidak kuasa melakukan itu.

Yudith memakai baju dan celana putih cerah. Rambutnya yang biasanya acak-acakan menutupi dahi, kini tersisir sempurna ke belakang, memperlihatkan garis wajahnya yang tegas. Pandangan mata Yudith tajam ke depan.

Sandra kemudian menyadari perbedaan pakaian yang sekarang ia kenakan. Seingat Sandra, tadi pagi ia memakai baju berwarna kuning cerah dengan celana cokelat. Sekarang Sandra memakai gaun sederhana selutut yang berwarna putih bersih. Pikiran bahwa Yudith mengganti pakaiannya terlalu mengerikan bagi Sandra, hingga jemarinya semakin gemetar. Ketakutan semakin merayap di ulu hatinya, membuat Yudith kemudian sadar dan kini tertawa—jenis tawa yang tentu saja tidak ingin engkau dengar.

"Simpan aja rasa takut lo," suara Yudith kini terdengar mengancam, namun mengalun membentuk irama yang pasti. "Nanti."

Well, terima kasih sekali, Yudith, sekarang Sandra semakin takut.

Sandra menoleh ke depan, ingin sekali ia berteriak minta tolong, pada orang-orang yang berada dalam mobil mereka. Sandra sangat ingin ikut di salah satu mobil itu, asalkan tidak bersama Yudith.

"Gak bisa ngomong, ya?" ejek Yudith seakan mengetahui Sandra memiliki banyak pertanyaan di kepalanya. "Yah, karena gue juga butuh lo tau, gue akan memberi jawaban dengan cuma-cuma. Anggap aja lo lagi denger radio."

Denger radio? Sandra ingin memukul kepala Yudith sekeras mungkin hingga laki-laki itu pingsan dan Sandra bisa kabur sekarang. Apa membawa kabur seseorang sekarang menjadi bahan bercanda? Gila.

"Oke. Semua dimulai ketika hidup gue ancur. Orangtua gue cerai. Pemberontakan gue membuat gue drop out kuliah. Gue gak punya apa-apa lagi selain lo. Elo," Yudith memandang Sandra dan sekilas Sandra bisa melihat getir di mata itu, bagaimana kehidupan pahit Yudith membuatnya berani melakukan hal ini. Sandra bisa memahaminya, namun tidak bisa menerima perbuatan ini begitu saja. Apa yang Yudith lakukan sekarang salah. Apa pun alasannya. "Gue iri sama lo. Gue iri lo bisa sukses. Gue iri lo punya teman. Gue iri sama lo, Sandra!"

Suara Yudith naik beberapa oktaf. "Dan yang paling gue benci adalah gue harus mendukung lo saat gue yang membutuhkan dukungan."

Ada jeda sesaat. Sandra ingin mengucapkan sepatah kata, yang bisa membuat Yudith menghentikan sikap nekatnya sekarang, yang bisa menyelamatkan hidupnya, namun bibirnya terkunci rapat. Sandra beralih ke tangannya. Jemarinya bergetar begitu hebat, namun hanya itu yang bisa ia lakukan. Sandra tidak bisa lagi meraih tangan Yudith.

Sandra terlambat meraih tangan Yudith.

***

SADENA melangkah terburu-buru menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan set ketika Hanna Syafira menahan tangannya. Sadena menoleh dan mendapati raut wajah Hanna yang sangat tegang. Ada kilat permohonan di mata itu, seolah Hanna merasa ini satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Gue punya koneksi," ucap Hanna dengan napas satu-satu. "Sandra bisa ditemukan dengan cepat. Gue bisa bantu."

Pikiran Sadena kosong untuk sesaat karena ucapan Hanna. Seperti Hanna adalah oasis di padang pasir. Jawaban yang ia butuhkan. Solusi. Apa pun itu, agar Sandranya kembali.

"Kalo gitu, bantu gu—"

"Give and take," sela Hanna. "Give and take."

Saat itu, Sadena tidak punya waktu lagi. Dia harus menemukan Sandra secepat mungkin. Dia tidak mau terlambat. Dia tidak mau Sandra menunggu terlalu lama. Saat itu, Sadena tidak pernah berpikir konsekuensi yang ia buat dan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hubungan mereka. Namun, ketika itu, hanya satu yang Sadena pikirkan, Sandra, tanpa pernah tahu perjanjian yang ia buat dengan Hanna membuatnya menyesal.

"Apa?" tanya Sadena.

"Kalo gue berhasil menemukan Sandra, lo gak boleh bertemu dia lagi," ucap Hanna. "Lo selamanya bersama gue, Sadena."

Sadena tidak berpikir panjang.

"Whatever it takes," ucap Sadena, membuat seulas senyum kecil terbit di wajah Hanna sebelum ia bergegas menuju managernya dan berbicara.

Sadenatidak tahu bahwa perjanjian itu hanya akan membawanya ke malam-malam panjang dimana Sadena menatap langit-langit kamar dengan helaan napas sesak.    

S: Sadena, Sandra & SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang