BAB 29

118K 11.2K 1.4K
                                    


SANDRA bermimpi bahwa Sadena mengajaknya pergi, ke suatu tempat yang hanya ada mereka berdua. Tanpa gangguan siapa pun, tanpa interupsi. Mereka pergi menuju masa lalu dan berdiam di sana sampai larut malam. Kemudian, Sadena—

Tunggu.

Sandra mengerjapkan matanya sekali lagi setelah menyadari bahwa ia terbangun bukan di kamar tidurnya. Aksen khas Sunda di kamar ini terasa sangat kental hingga Sandra lantas terduduk, melihat sekitar, ini jelas-jelas bukan kamarnya.

Tergopoh-gopoh, Sandra keluar dan mendapati rumah yang benar-benar asing dalam ingatannya. Tidak ada siapa pun di sana, membuat Sandra terpaksa berlari ke pintu utama.

Brak!

Sandra membuka pintu depan dan matanya membelalak, terkejut melihat Sadena duduk di bangku teras, sedang nge-teh pagi. Sadena mendongak ke arah Sandra, raut wajah tenangnya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan milik yang perempuan.

"Shalat dulu sana, apus ilernya," suruh Sadena membuat Sandra bungkam.

"Sandra di...."

"Rumah Bude," jawab Sadena yang hapal tabiat Sandra kalau baru bangun tidur—lupa dan disorientasi. "Sana shalat dulu, udah hampir terbit."

Sandra menoleh ke arah langit biru yang perlahan memutih, menandaakan matahari sedang bergerak muncul. Tertatih-tatih dan kebingungan, Sandra masuk ke dalam rumah Bude, menggaruk-garuk kepalanya, tetapi tetap menuju kamar mandi.

Tunggu, kamar mandinya di—

"Di sini," tunjuk Bude yang muncul dari belokan, tangannya memegang nampan berisi roti bakar.

Sandra mengangguk, dan dengan tampang sedikit blo'on, Sandra pun menuju kamar mandi.

Sementara Sadena di pintu teras berusaha mengumpulkan 'rasa sabar'nya untuk menghadapi seekor ular sanca (re: Hana Syafira) karena berkat keegoisan perempuan itu, sekarang ada yang harus menerima akibatnya. Menurut Sadena, Hana tidak perlu bersikap seolah dia tidak akan menerima tawaran pekerjaan lain apabila tidak mendapat peran Ratu. Seharusnya, Hana lebih bersikap... sportif.

Sadena mengucap do'a berkali-kali sebelum dia mulai menelepon Hana.

Di detik keempat, Hana mengangkat teleponnya. "Pagi, Sayang."

"Mau lo apa?" tanya Sadena.

Sesaat, Hana terdiam, kemudian tertawa. "Aku tau pasti kamu bakal nanya hal ini. Apa Sandra memang sepenting itu buat kamu, Den?"

Sadena mengeratkan genggaman tangannya, kemudian kembali bertanya. "Sekarang," ucapnya penuh penekanan, "Mau. Lo. Apa?"

Ada hening sesaat. Sadena merasa di ujung telepon, Hana mengeluarkan senyum liciknya.

"I want you back."

***

"CUT!" ucap sutradara dengan puas, sementara Thama dari yang berwajah cerah dan ramah berubah ketus, Thama kembali duduk di kursinya yang berkipas angin tiga, kemudian meminta Aghi mendekat dengan gestur tangannya.

Manajer Thama itu dengan segera datang, "Iya, Tham?"

"Mana yang kemarin gue minta?" pinta Thama.

"Oh, iya, ini," Aghi dengan sigap mengambil laptop dan flashdisk dari tas jinjingnya kemudian mengoperasikannya.

Setelah selesai, Thama menunjuk video di layar, memastikan. "Yang ini, kan?"

Aghi mengangguk kikuk.

S: Sadena, Sandra & SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang