BAB 41

102K 11.4K 1.4K
                                    

Maaf aku pergi lama banget–gak bermaksud, cuma lagi sedih gara-gara Sadena sedih, jadi gak semangat nulisnya. Kasian Sadena. :(

BAB 41

ESOK paginya, Sandra bangun dalam keadaan merasa sangat bersalah, bodoh, dan tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatannya. Lama Sandra hanya berbaring menatap langit-langit, merutuki segala kebodohannya, dan bersumpah akan membicarakan hal ini pada Thama secara baik-baik. Mengatakan pada cowok itu bahwa kemarin dia sedang tidak berpikir jernih dan keputusannya untuk berpacaran adalah keputusan paling salah yang pernah ia lakukan dalam hidupnya. Sandra tahu, Thama mungkin sedang ling lung sampai-sampai sudi mengajaknya berpacaran.

Hari ini, setelah pikiran mereka sama-sama jernih, pasti, Thama akan menyetujui perkataannya.

Iya, kan?

"Enggak," Thama tertawa tergelak-gelak sampai mengeluarkan air mata ketika siang ini Sandra mengatakan semua yang ada di otaknya. Thama menggebrak meja saking puasnya ia tertawa. "Lucu kamu."

Sandra meringis. "Tham, gue serius."

"Enggak, kamu lagi bercanda aja sama aku," kepala Thama menggeleng-geleng, seolah setiap syaraf pada tubuhnya menolak semua perkataaan yang telah Sandra ucapkan.

Perkiraan Sandra bahwa Thama terlalu naif itu salah. Thama memang sengaja menolak fakta-fakta yang ada di hadapannya dan memilih menerima imajinasi dan harapan yang tidak pernah sejalan dengan realitas. Karena dengan itu, Thama bisa berharap, walau sedikit.

"Aku udah bilang. Aku bisa jadi Sadena. Aku gak peduli kamu masih suka sama dia dan kamu gak suka sama aku. Yang aku peduliin, aku sekarang lagi bareng sama kamu. Udah, sesimpel itu," Thama mengangkat bahunya seolah menunjukkan bahwa semuanya memang sesederhana 'mengangkat bahu'. Thama akhirnya tersenyum dan berwajah lebih serius dan beradab. "Aku juga gak gitu suka sama kamu—kalo kamu mau tau supaya gak merasa bersalah. Jadi, ini win-win solution. Kalo kamu bisa lupain Sadena dengan bareng aku, kita menang. Kalo penasaran aku habis soal kamu, dan kamu gak bisa lupa Sadena, aku yang menang. Tapi kalo kamu berhasil bikin aku makin suka sama kamu sementara kamu gak bisa lupain Sadena, kamu yang menang."

Mendengar itu di teriknya siang hari membuat Sandra merasa kepalanya sedikit pening. Sandra mengambil minuman cokelat dengan susu kental vanillanya, meneguk perlahan, sambil berpikir apakah laki-laki di hadapannya sudah kurang waras karena berpacaran untuk menghabiskan rasa penasarannya. Tidak seperti bersama Sadena, bersama Thama, Sandra seperti menemukan dunia baru yang belum pernah ia temukan. Thama mengajaknya keluar dari cangkang yang selama ini membelenggunya.

"Jalan, yuk," ucap Thama seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe yang sepi—sengaja, Thama tidak mau diganggu oleh penggemar fanatik yang berani datang ke mejanya untuk meminta berfoto. Mereka bisa tahu radar seorang artis meski sudah disamarkan dengan kacamata hitam dan masker. Thama melihat ke arah Sandra yang kikuk. "Ke mana aja yang kamu mau."

Thama tidak bermaksud mengatakan itu dengan upaya 'menggombal' pada Sandra. Perkataan itu hanya alami keluar dari mulutnya. Tapi, karena ucapannya, Sandra semakin kikuk dan kini melihat ke luar jendela. Thama bertopang dagu dan tersenyum melihat garis wajah Sandra. Kalau seseorang menyuruhnya berdiam diri seperti ini seharian, Thama tidak akan menolak.

"Gue gak suka sama lo, Tham."

"Iya, tau."

Sandra menghela napas.

Hening beberapa saat. Sandra menarik tasnya dan berdiri dari kursi. Thama juga berdiri setelah mengeluarkan uang dan menaruhnya di meja. Thama mengikuti langkah Sandra. Sandra berhenti di depan pintu kafe kemudian berbalik.

S: Sadena, Sandra & SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang