7.Mengejar atau Berhenti?

6.8K 274 1
                                    

      ~Serius gue itu tergantung lo,gimana liatnya dari usaha gue~

DEVAN

_________________________________________

Aku tidak menanggapi, aku hanya tersenyum melihat ke arahnya. Sebuah senyum klise yang sering dilontarkan. Dia menatapku, tapi aku mengalihkan padanganku.

“Zein.” panggilnya saat kami berada di depan kelas 11 IPS 1.
“Apa?”
“Gue serius Zein.”
“Tapi gue nggak percaya sama apa yang lo omongin barusan.”
“Gue bakal buktiin Zein.”

Kemudian aku langsung pergi begitu saja, mengabaikannya yang berada di ambang pintu kelasnya.

DEVAN POV

Melihat reaksi Zein membuatku semakin ingin berusaha mendapatkannya. Berusaha untuk melindungi dia dan mengajarkan dia pada banyak hal. Zein wanita yang selalu membuatku berusaha. Zein wanita yang selalu membuatku mengerti bahwa memberi kepercayaan itu tidak mudah.

Zein aku ingin membebaskanmu dari belenggu yang membuatmu tak bebas merasakan dunia. Ya, aku ingin melunakkan hati ayahmu. Aku ingin membuatnya percaya bahwa masa remaja adalah waktu yang tepat untuk mencari pengalaman.

Aku ingin mengajarimu mengenai cinta Zein. Cinta yang ditransformasikan dalam berbagai macam bentuk. Cinta yang bentuknya saling memberi, cinta untuk suatu hal yang kamu sukai, cinta yang selama ini kamu sembunyikan. Cinta untuk orang sekitar kita. Cinta yang mengajarkan kita kepada jalan keiklasan mengenai sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita. Cinta yang mengajarkan kita tentang pengorbanan. Cinta yang membuat kita tahu jati diri kita, bukan menemukan tapi membentuk suatu jati diri kita.

Aku mengeluarkan kotak makanan berwarna biru, diasana ada 8 kue pukis buatan Tante Merlin. Seingatku namanya Tante Merlin.

“Wih, tumben lo bawa makanan dari rumah?” tanya Diki.
“Dari Tantenya Zein.”
“Udah jadian aja lo Sob! Selamat!” kata Megantoro.
“Jadian apaan? Gue aja di jutekin mulu sama dia.” keluhku.
“Jangan khawatir, dia bakal luluh sama lo.” tambah Markus.
“Alah sotoy lo! Susah banget dah nglunakin hatinya dia.”
“Sabar semua butuh proses.” kata Bryan.
“Ngomong-ngomong soal jadian nih, kayaknya kalo kuenya dimakan bareng jadi berkah kali ya?” kata Diki.

Mereka menyerbu kue pukis Tante Merlin.

“Enak banget dah.” kata Markus.
“Alah lebay lu Kus!” kata Bryan.
“Eh nanti jadi kan pulang sekolah latian basket?” tanya Megan selaku kapten.
“Jadilah! si Kapten pake nanya lagi.” tambah Markus.
“Eh iya, soal kompetisi dua bulan lagi jadi nggak?” tanyaku.
“Nggak tau nih, nanti kita sekalian aja di diskusi.”

ZEIN POV

Jam istirahat pertama, aku ke kantin sekolah. Kali ini kantin resmi yang ada di sekolah. Aku memesan jus mangga dan bakso bersama tiga temanku. Aku melihat Diba cengar cengir sendiri.

“Kenapa si Dib, bahagia banget.”
“Lo nggak tahu?” tanya Sabrin.
“Pasti lo nggak nyimak grup lagi.” kata Fina sambil menepuk jidat.

Aku tersenyum.

“Dia kemarin jadian sama Diki.”
“Sumpah?!” aku kaget.
“Iya, “ jawab Diba.
“Kapan?” tanyaku.
“Kemarin kan waktu kita nonton lomba pianonya si Diki itu, sebenernya cuman skenarionya Diki buat nembak Diba. Jadi di sana yang nonton ya cuman kita kita.” kata Fina.
“Awalnya bingung juga gue, kenapa itu tempat kayak kagak ada orangnya.”
“Tapi malah pas di dalem gelap dan cuman sorot lampu yang ngarah ke Diki di panggung.”
“Eh taunya, setelah main piano, Si Diki nembak Diba. Anjir kan ya?” kata Fina .

Aku tertawa.

“Diki bilang, dia nggak berani deketin Diba sebelumnya. Makanya nembaknya pake acara beginian” jelas Sabrin.
“Taunya gitu kan biar Diba aja yang nonton.” tambah Fina.
“Wah selamat Dib akhirnya lo sold out!” kataku lalu tertawa.
“Thanks.”
“Perkembangan lo sama Megan gimana?” tanyaku pada Sabrin.
“Dipastikan gagal!” jawabnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Megan ternyata udah punya cewek.” kata Fina.
“Tenang Brin lo pasti bisa move on dari Megan songong itu!” kata Dibba.

😊😊😊

Pulang sekolah tiba, tapi rasanya aku sedang malas pulang . Aku menelungkupkan kepalaku diatas meja, ketika kelas sudah kosong. Sampai aku tertidur.

1 jam kemudian.

Aku membuka mataku perlahan, melihat seseorang sedang menatapku lekat-lekat. Dia mendatangiku. Kulirik jam tanganku , rupanya hari sudah petang. Pandanganku masih kabur.

“Kenapa tidur di sini?” tanyanya.

Itu suara Devan.

“Ngantuk.”
“Pulang yuk! Udah jam segini.” ajaknya.

Aku mengangguk. Lalu, setelah itu aku aku mengemasi barangku dan pulang bersama Devan. Diperjalanan, aku menaruh kepalaku dipundak Devan, sangat mengantuk. Dia kemudian memegangi tanganku dengan erat, mungkin takut aku jatuh.

Dia menggenggam lembut dan penuh kasih sayang. Sampai dirumah, aku turun dari motornya Devan. Ia terkekeh.

“Kalau lagi ngantuk kamu nggak berdaya banget.” dia tertawa.
“Alah, biasa aja kok.”
Dia memberiku sebatang coklat.
“Untuk?”
“Untuk lo, biar nggak suka badmoodan. Kata orang, coklat itu obat yang ampuh buat orang badmood.”ujarnya.
“Makasih.”

Kemudian, aku melangkahkan kaki menjauhi motornya.

“Zein?” panggilnya. Aku menoleh.
“Apa?” tanyaku.
“Rabu ke sanggar lukis gue mau nggak?”

Lukis? Rindu sekali dengan melukis.

“Oke.”
“Jangan lupa izin Tante Merlin.”
“Iya.”

😊😊😊

Hari Rabu, sepulang sekolah sesuai janji kemarin, aku dan Devan menuju sanggar milik kakak Devan. Kebetulan dekat rumah Devan. Aku juga sudah memberitahu Tante Merlin.

Devan menancap gas motornya, melaju dengan kesat seolah ia pembalap ahli. Aku pun terpaksa berpegangan di jeketnya. Dia menurunkan kecepantannya.

“Nah sekali-kali gitu dong biar gue nggak kayak tukang ojek.”

Aku menghela napas kesal, seharusnya aku tahu kalau tadi itu cuman modusnya belaka. Tapi entah kenapa itu juga membuatku senang. Nyaman saat bersamanya, meskipun dia adalah pria yang menjengkelkan bagiku. Sekali pun begitu, dia cukup menyenangkan.
Kami sampai di sanggar. Di sana ada kakaknya Devan, namanya Rania. Kata Devan Kak Rania ini suka sekali menggambar sejak kecil, dia ingin jadi pelukis tapi, mamanya tidak merestui. Untuk menyalurkan hobinya dia membuka sanggar lukis gratis untuk anak-anak kurang mampu yang punya bakat melukis.

Aku merasa buruk sekali di hadapan mereka. Kenapa? Untuk jiwa muda sepertiku dan berkecukupan sepertiku aku tidak bisa berjuang untuk suatu hal yang aku senangi. Aku seperti prajurit yang gagal sebelum bertanding.

“Pacarnya Devan?” tanya Kak Rania.

Rebrrica [COMPLETED]Where stories live. Discover now