[65] Lettre De Naissance

2.3K 104 0
                                    

Hari sudah menunjukkan pukul tujuh lewat duapuluh menit. Matahari menyinari kamar bernuansa hitam-putih yang masuk melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Bunyi alarm yang nyaring membuat kegiatan tidur seorang lelaki berdarah Indonesia-Spanyol mengerang dan menutupi telinganya dengan bantal. Namun bantal itu masih belum cukup untuk menghalau bunyi alarm itu memasuki gendang telinganya. Dengan terpaksa cowok itu membuka matanya hanya untuk sekedar mematikan alarm dari jam digitalnya.

Melirikkan matanya pada jam digital yang menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh tiga menit, Bastian mengutuk siapapun yang menyetel alarm kamarnya. Ini hari libur. Biasanya alarmnya itu baru akan berbunyi pada pukul delapan.

"Pasti kerjaan Peter." Dengusnya.

Sepupunya itu benar-benar menyebalkan. Selalu saja menganggu kenyamanannya seperti ini. Bukan sekali dua kali Bastian dikerjai saat sedang tidur. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Peter sempat menjahilinya dengan lem waxing yang diolesi di kakinya, kemudian ditarik menggunakan kasa hingga membuat Bastian terbangun dengan erangan keras karena bulu kakinya tercabut sempurna secara kasar. Sepupunya itu memang benar-benar idiot, pikirnya.

Baru akan memejamkan mata, getaran telfon kembali menganggu niatannya untuk kembali tidur. Menghela napas kasar, cowok itu meraba samping ranjang untuk mencari keberadaan ponselnya.

Dengan mata terpejam, Bastian menempelkan ponselnya pada telinga. "Halo."

Terdengar hening. Tak ada balasan dari panggilannya. Kening Bastian berkerut dengan mata tetap terpejam.

"Halo?"

Tetap hening.

Bastian menjauhkan ponselnya dan membuka satu kelopak matanya. Astaga! Pantas saja tidak ada jawaban. Ternyata ia belum menggeser slide answer. Ia tersenyum geli. Pantas saja masih ada getaran dari ponselnya itu. Kemudian, dengan mata terpejam, Bastian menggeser slide answer, menerima panggilan telfon yang entah dari siapa karena cowok itu bahkan tidak melihat ID Callernya.

"Halo?"

....

"Halo?" Ujar Bastian sekali lagi saat tak ada jawaban dari sebrang sana.

....

Bastian berdecak. "Kalo gagu nggak usah nelfon." Ujarnya hendak mematikan sambungan telfonnya, namun suara yang terdengar dari sebrang sana membuat Bastian berhasil bangun dari posisi tidurnya.

"Miss me?"

Bastian menjauhkan ponselnya dari telinga, melihat ID Callernya.

Private Number

Ia kembali menempelkan ponselnya pada telinga. "Nathalie?"

Terdengar helaan napas dari sana. "Maaf aku pergi tanpa bilang sama kamu. Aku janji aku bakalan balik secepat mungkin. Jaga diri kamu. I do love you so much."

Panggilan itu terputus secara sepihak. Bastian masih terdiam pada posisinya. Ia masih tak menyangka bahwa yang menghubunginya tadi adalah Nathalie, gadis yang sudah tiga hari ini dicarinya. Gadis yang membuat ia dan teman-temannya dihukum karena cabut ketika jam pelajaran hanya untuk mencari keberadaan gadis itu.

Ya Tuhan. Entah ia harus senang atau malah khawatir karena panggilannya barusan. Ia senang mendengar suara Nathalie yang mengartikan bahwa gadisnya itu setidaknya masih baik-baik saja. Tetapi ia juga khawatir karena tidak mengetahui dimana keberadaan gadisnya. Apalagi ketika Nathalie pergi, cewek itu sedang tidak dalam keadaan sehat. Dan yang Bastian ingat, ia sempat melihat obat-obatan Nathalie berhamburan di lantai kamar. Meskipun Zio langsung memberikan obat yang baru setelahnya, Bastian tetap merasa tak yakin. Tak yakin Nathalie akan membawa obatnya, atau takut Nathalie akan kembali membuang obatnya.

Piece of Heart [Why?]Where stories live. Discover now