"England Here I Come"

11.5K 921 5
                                    

“Pokoknya, selama saya pergi kamu harus tetap kasih laporan keuangan. Jangan sampai lupa untuk check tiga kali seminggu pendapatan di cabang lainnya.” Pesan Dira pada Manda, Manager Keuangan di Sweet Chocolate café miliknya. Sampai saat ini ada lima cabang yang tersebar. Satu cabang di Jakarta Pusat, satu lagi di Bandung, satu di Yogyakarta, satu di Malang, dan satu lagi di Bali.

“Baik mbak. Saya juga sudah kontak cabang.” Manda mengangguk.

Dira tersenyum ramah, kemudian keluar dari café. Perjalannya berlanjut ke Korean Cuisine restaurant miliknya yang hanya berjarak satu kilometer dari Sweet Chocolate. Disana ia juga berpesan pada Manager untuk selalu mengirim laporan via e-mail. Walau liburan, Dira juga tidak ingin hilang kendali atas sumber penghasilannya. Bisa dibilang di usia mudanya, ia tergolong sangat sukses. Café, restaurant, dan milk bar ia miliki. Tidak ketinggalan dengan cabang-cabangnya di berbagai kota. Berapa sudah pemasukannya selama lima tahun ini merintis semua usahanya. Melepas nama besar keluarga Jayadi yang terkenal sebagai pemilik empat rumah sakit Internasional, serta turun temurun dipercaya sebagai ketua tim dokter kepresidenan.

“Cuma ini bawaannya?” Cacha tidak melihat koper. Hanya sebuah tas carrier dan sebuah tas selempang kecil, tempat meletakkan ponsel juga dompet. Sore ini Dira menghubungi sahabatnya untuk membantunya berkemas. Tapi tak ada barang berarti yang bisa dibantu wanita bertubuh mungil itu.

“Aku mau perjalanan ala backpacker. Selain seru, aku juga mau hemat. Setelah ku hitung-hitung, bisa hilang setengah hasil kerja kerasku selama ini. Jadi, untuk mendapat keseruan serta menekan pengeluaran, aku putuskan tema liburan ini adalah Adira’s Adventure in Europe.” Dira memamerkan cengirannya. Sementara Cacha menganga, takjub dengan perkembangan jiwa sahabatnya. Kadar abnormal seorang Dira yang terkenal cerdas, anggun, cantik luar biasa, dan punya image sangat kalem ini semakin menjadi. Mungkin orang-orang yang baru pertama kali atau bukan teman akrab akan memujanya bagaikan dewi. Tapi tidak bagi sahabat dekat dan keluarga. Bahkan pada Deva, ia tidak pernah sekalipun menampilkan sisi lainnya.

“Terserah kamu kalau begitu. Pesanku, kamu hati-hati. Jangan lupa bawa oleh-oleh.” Cacha mencubit gemas pipi Dira.

“Aku pasti bisa jaga diri. Lupa kalau aku ini pemegang sabuk hitam taekwondo?” Dira membalas cubitan pipi sahabatnya.

T C T C T C

“Semua urusan sudah saya alihkan ke Dirga. Nanti dia yang langsung lapor ke saya. Jadi selama saya pergi, semua urusan langsung saja ke Dirga.” Pesan Revan. Ia menyerahkan beberapa map pada sekretarisnya. “Presentasi untuk writing brief  iklan klien baru kita, itu di handle Jessie. Jadi untuk masalah produksi biarkan saja dia yang atur.”

“Baik Pak. Ada pesan lagi?” Sekretaris Revan masih tegak berdiri di balik mejanya.

“Kalau Pak Handoko ke kantor, bantu beliau. Soni masih ambil cuti sampai minggu depan.” Revan tersenyum singkat. Lalu keluar dari kantor. Ia melajukan mobilnya diantara padat kendaraan Ibu Kota. Mengarahkan mobil Alphard hitam itu ke sebuah sekolah elit. Ia menunggu di dalam mobil hingga melihat sosok adiknya keluar gerbang.

“Tumben banget jemput langsung.” Vana memasang sabuk pengamannya.

“Iya dong.” Revan segera melajukan mobil menuju kawasan perumahn elit. Kakak beradik itu segera masuk rumah. Keduanya berjalan menuju kamar Revan. Pria itu memang punya apartemen dan cukup sering tinggal disana. Tapi ia lebih sering lagi tinggal di rumah. Vana kesepian. Papinya sibuk mengurus kantor pusat di Singapura. Itu artinya adik kecil Revan harus sendirian di rumah besar dan megah mereka. Ibu mereka sudah lama meninggal. Saat itu Vana masih berusia satu tahun.

“Jadi, Inggris?” Gadis itu bertanya sambil memasukkan beberapa potong pakaian Revan ke dalam tas bepergian yang bisa menjadi ransel.

“Aku bisa bertemu Uncle Dave disana.” Revan tersenyum.

“Sampaikan salamku untuknya. Bilang kalau tahun depan mungkin Vana akan berkunjung.” Gadis itu menutup tas kakaknya.

“Oke. Selama aku pergi, kamu baik-baik di rumah. Jangan sering keluyuran dan makan apa pun masakan yang dimasak Mbok Dar.” Revan berpesan.

“Iya bawel. Nanti malam aku boleh ikut ke Bandara?” Pinta Vana.

Revan menggeleng, “aku berangkat sendiri naik taxi.” Vana cemberut. Ia kemudian memeluk kakaknya dengan hangat.

“Jangan kelamaan liburan. Kalau bisa sekalian cari calon kakak ipar yang baik dan cantik disana.” Gadis itu tersenyum geli.

“Jangan minta yang aneh-aneh.” Revan menepuk pelan kepala adiknya.

Traveller Couple ( Complete ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang