"Her Shadow"

7.7K 662 8
                                    

Setiap langkah, setiap kegiatan, ada bayangnya. Ketika makan, bayangan Dira yang sedang bicara terlihat jelas. Saat berjalan ada bayang gelayut protektif gadis itu. Revan hampir gila dibuatnya. Kemanapun pasti ada sosok Dira di dekatnya.

Lelaki itu menggosok pelipisnya. Lelah mulai menyerang. Sebulan ini sibuk mengurus pekerjaan dan Papi. Mungkin hal itu yang menyebabkannya melihat bayangan Dira.

"Van, aku kan mau libur, ajak jalan dong. Sekalian sama Papi biar bisa lebih segar," pinta Vana. Gadis cantik memohon dengan manis.

"Nanti diusahakan. Aku harus pergi dulu, ada pertemuan," pamitnya. Pagi itu Ia bertekad akan segera menyelesaikan pekerjaan, mengatur libur, dan mencari Dira. Ya, hasrat untuk menemukan gadis itu sangat besar. Walau tidak secara langsung mengakui, Revan merindukan keceriaannya. Ia butuh kata-kata penyemangat untuk melewati hari, dan Dira cocok untuk itu.

Pagi Revan yang sibuk dimulai dengan rapat karyawan, lalu siang hari pergi makan siang bersama mitra kerjanya. Jadi, begitulah Revan menghabiskan siang. Duduk bersama para kolega di restoran masakan Jawa.

"Tempat yang bagus, masakannya enak," Revan memuji asistennya. Tempat pilihan yang bagus.

"Ya, karena restoran ini juga menyediakan ruang meeting, jadi saya coba saja. Ternyata pelayanannya juga bagus," jelas sang asisten.

Dua orang lelaki itu baru saja selesai makan sekaligus rapat. Mereka berjalan menyusuri lorong bambu menuju bagian depan restoran. Saat itulah mata Revan menangkap sosok Dira. Tubuhnya tinggi, tapi pakaiannya lebih stylish. Terlihat elegan apalagi rambut yang dicat cokelatnya terikat satu.

Revan melihat Dira tertawa senang. Gadis itu tidak sendiri. Ia bersama seorang lelaki. Cukup tampan dan tidak kalah rapi. Keduanya nampak tertawa terpingkal, seolah pembicaraan antara keduanya sangat seru. Ada rasa marah. Api cemburu menguasai diri lelaki bermata biru itu. Tidak rela melihat gadisnya tertawa bahagia bersama lelaki lain.

"Ayo!" Dira berdiri dan pergi begitu saja. Tapi Revan masih berdiri di tempatnya. Ia berusaha menahan amarah. Gadis itu berhak bahagia bersama siapa pun. Itu semua salahnya meninggalkan gadis itu tanpa memberi kontak. Tentu kemarahan itu tidak ada artinya. Pikir Revan.

Sepulang dari restoran, Revan pergi menemui Ayahnya. Siang hingga sore, lelaki tampan ini berjanji untuk mendampingi Papi melakukan terapi di rumah sakit.

"Gimana, Pi? Sudah lebih baik menggerakkan kaki?" Tanya Revan sambil mendorong kursi roda. Papinya mengangguk, karena masih sulit untuk bicara. Mereka berjalan menyusuri koridor menuju ruang fisioterapi.

"Amu elua ja," ucap Papi tidak jelas. Tapi Revan mengerti. Lelaki itu keluar, tidak mendampingi terapi. Papinya tidak suka kedua anaknya melihat.

Menunggu sebenarnya bukan hal yang disukai Revan. Tapi untuk Papi Ia rela duduk berjam-jam sambil membaca buku untuk membunuh bosan. Lagi saat itu Ia melihat sosok Dira. Masih dengan pakaian yang sama seperti di restoran. Hanya saja ditutupi jas putih. Lelaki itu teringat bahwa Dira adalah sdorang dokter. Satu titik cerah menyapanya. Lelaki itu berjalan mendekati Nurs Station tempat di mana Dira sedang berdiri menulis sesuatu. Tapi saat Ia baru berjalan beberapa langkah, gadis itu pergi, berlari kecil tergesa. Mungkin harus menemui pasien. Tapi satu harapannya mulai kembali. Gadis itu bekerja di rumah sakit ini.

Sejak pulang dari rumah sakit, Revan tidak berhenti tersenyum. Ia bahkan lebih ramah dari biasanya. Menyapa selurih pelayan di rumah, dan menciumi pipi adiknya dengan girang.

"Apaan sih? Kesambet apa, Van?" Tanya gadis itu sambil menjauhi kakaknya.

"Jin cinta," jawabnya asal masih berbunga-bunga. "Besok kamu nggak usah antar Papi. Biar aku aja," ucapnya

"Kok gitu? Aku ikutlah, kan besok libur," rengek Vana.

"Oke," sambut Revan cepat, lalu pergi menuju kamarnya sambil bersiul. Vana merasa heran dan aneh. Revan tidak pernah sesenang ini. Tapi sejak pulang dari Eropa, kakaknya berubah. Lebih hangat dan ramah pada siapa saja. Dulu pelit senyum, sekarang senyumnya bertebaran. Tidak heran para gadis di komplek perumahan sering sekali olahraga lari melewati depan rumah. Entah itu siang atau sore. Pasti sedang cari perhatian Revano. Begitu pikirnya.

###

Pagi ini Revan sekeluarga pergi bersama ke rumah sakit. Papi senang karena bisa berkumpul kembali sebagai keluarga rukun. Vana ceria, Revan sikapnya lebih hangat. Ketiganya berbincang ringan sambil berjalan menyusuri koridor. Lalu Vana dan Revan akan duduk di luar ruang fisioterapi menunggu Papi.

"... gitu, Van," Vana mengakhiri ceritanya. Tapi sepertinya lelaki bermata biru itu tidak menyimak. Ia memandang Nurs Station berharap Dira muncul seperti kemarin.

Sosok tinggi berjas putih muncul. Revan girang sekaligus berdebar. Inilah saatnya bertemu. Tekad lelaki itu mantap. Ia pergi meninggalkan adiknya. Berjalan cepat mendekati dokter muda yang membelakanginya. Jarak mereka semakin dekat, tiba-tiba gadis itu berbalik.

"Ada yang bisa saya bantu?" Ucap dokter itu. Revan terbelalak. Bukan dia. Bukan Dira yang dinantinya.

"Tidak ada. Saya hanya mau mengambil brosur ini," lelaki itu mengambil sebuah brosur kesehatan di meja perawat, lalu segera kembali duduk.

Kecewa sebenarnya. Revan susah terlalu berharap. Tapi harapan itu mengantar bayangan. Semuanya kamuflase. Siapa saja yang terlihat mirip, akan tergambar sebagai Dira. Harapannya kembali pupus. Ya, sangat jarang bisa terjadi pertemuan tanpa sengaja. Jadi mulai sekarang, Revan akan mencari di mana Dira berada.

To Be Continue...

-------------

Revan kembali mencari Dira. Ayo di mana Dira? Apa di situ? Atau di sana? Hehe... Yuk vote dan comment biar Revan dan Dira bisa ketemu *loh?*

Traveller Couple ( Complete ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang