21

1.2K 96 3
                                    

SEJAK tragedi perusakan stand bazaar, Jefri gak pernah terlihat lagi. Gue pengen banget nanya gimana keadaannya, tapi gue gengsi. Secara, gue yang nyuruh dia pergi tapi kenapa seakan gue juga yang pengen dia kembali? Seperti mantan ngajak balikan aja! Meski kenyataannya begitu gue gengsi banget. Karena gue cewek.

Mungkin aja Jefri sengaja ngehindarin gue. Dia marah sama gue, dan gue maklum tentang hal itu. Gue udah nuduh Jefri dan membentaknya tanpa alasan. Gue tau kata kata gue emang menyakitkan hatinya. Mungkin aja Jefri sengaja bolos, karena membolos emang bukan hal baru untuk Jefri.

Pagi pagi suasana kelas riuh. Gue buru buru naruh tas kebangku gue dan ikut nimbrung.

"Eh, lo tau gak dimana Jefri sekarang?"

"Kasihan banget dia,"

"Iya, katanya parah."

"HAH? Parah?! Apanya?" tanya gue penasaran.

"Hah, lo gak tau ya, Hen?"

"Gak tau apaan sih? Yang jelas dong."

"Jefri kecelakaan," jelas Siska, teman sekelas gue.

Gue tercekat.

"Sampai kritis. Dari kemarin Jefri belum sadar,"

"Kasian banget."

Jadi selama ini Jefri gak masuk sekolah, bukan karena buat ngehindarin gue, melainkan karena dia kecelakaan? Kenapa gue sampai gak tau sih?!

***

Gue, Catur, Fifin dan Lena berada dirumah sakit untuk menjenguk Jefri. Gue menatap Jefri dari jendela besar rumah sakit, dia lemah dan banyak luka. Beberapa alat terpasang ditubuhnya dan gue miris banget. Jefri bahkan belum sadar dari kemarin, bisa gue bayangin seberapa parahnya.

"Jefri kecelakaan karena jatuh dari motor, dia diserempet truk." jelas Tante Amara, ibu Jefri. Sementara Ayah Jefri tidak dapat menjenguk karena masih sibuk diluar negeri. "Dia sempat membeli boneka ini. Buat Heni, katanya. Kamu Heni?"

Gue nggangguk lemah sambil menerima boneka itu. Tante Amara menjauh untuk mengurus administrasi rumah sakit. Fifin, Lena dan Catur menatap kearah gue.

Kenapa disaat gue nuduh Jefri tanpa ampun, Jefri malah membelikan boneka seindah ini buat gue? Kenapa Jefri gak bisa marah sama gue, padahal gue udah sangat jahat kepadanya?

Gue menyentuh boneka itu dan hampir menangis, menatap boneka beruang putih yang sekarang tak lagi putih, melainkan berwarna merah darah. Gue menekan tombol di boneka itu, dan muncullah sebuah rekaman suara yang amat gue kenal, dan amat gue rindukan.

Jefri.

"Heni, maafin gue ya? Gue tau, gue emang sumber masalah buat lo, dan habis ini gue janji gak akan gangguin hidup lo lagi. Karena gue pengen liat lo bahagia. Jangan kangen gue ya? Gue tau kok, gue emang ganteng. Salam sayang, Jefri."

Suara itu berakhir begitu saja. Dan perlahan gue mulai merenungi segalanya, gue mulai menyadari bahwa ternyata gue terlalu jahat. Gue gak pantes jadi Cinderella. Dan Jefri gak seharusnya selalu nolong gue layaknya Ibu Peri.

' Duh, jatuh mulu. Untung ada gue, kalo gak ada gimana nasib lo coba?'

' Gak ada lo, gak ada moodbosternya,'

' Dan gue bisa ngerasain cinta itu juga gara gara lo'

' Gue cemburu,'

' Bu Ketu gak peka peka,'

' Gue borong ini semua buat lo,'

' Lagu ini saya tunjukkan buat seseorang yang gak peka peka, gue harap dengan lagu ini 'dia' bisa peka.'

' Sekalipun lo bolot dan menyebalkan, gue tetep milih lo. Gue pengen lo peka. Gue pengen liat lo bahagia. Tapi kalo kenyataannya gue hanyalah sumber masalah bagi hidup lo, gak apa apa. Gue pergi,'

' ... Dan jangan nyesel jika suatu saat kita gak ketemu lagi.'

"Jefri.." lirih gue. Kenapa sejak awal gue gak bisa peka, sih? Ya, gue tau kalo penyesalan selalu ada diakhir. Yang diawal itu namanya pendaftaran. Tapi entah kenapa rasanya menyakitkan. Gue udah menyakiti perasaan Jefri begitu dalam dengan kata kata menusuk gue.

' Tolong pergi dari sini. Gue gak mau lihat lo lagi!'

Perlahan air mata mulai menetes, dan gue pengen Jefri baik baik saja. Gue pengen Jefri kembali. Gue sama sekali gak ingin Jefri meninggalkan gue, sebentar saja sudah menyakitkan apalagi untuk selamanya. Gue ingin minta maaf dan ingin memutar balik waktu. Andai aja bisa..

Fifin dan Lena menepuk pundak gue agar tabah. Tante Amara menatap anaknya dengan cemas. Dan tak lama kemudian, Jefri kejang kejang. Tubuhnya makin melemah dan gue gak sanggup liat penderitaan cowok ceria itu.

Dokter dan suster masuk keruangan. Semuanya terlihat begitu tegang dan dokter sudah berusaha semaksimal mungkin. Gue hanya dapat berdoa dalam hati, setulus hati agar Jefri kembali.

Jef, please bertahan buat gue..

Semuanya larut dalam kesedihan. Saat dokter keluar dari ruangan, ada setitik harapan dihati gue, Lena, Catur, Fifin dan Tante Amara.

"Bagaimana keadaan Jefri, dok?" tanya gue, menahan bahu gue agar tidak bergetar menahan tangis.

"Maaf, kami sudah berusaha." dokter itu menunduk. "Pasien Jefri sudah tidak dapat diselamatkan, dia.."

Gue menatap wajah Jefri yang pucat seperti tanpa darah. Gue menyentuh pipi dinginnya, dan menyesal kenapa gue menyia nyiakan cowok sebaik dia. Andai gue bisa minta maaf dihari terakhirnya, mungkin gue gak akan ngerasa semenyesal ini..

Semua alat yang menempel di tubuh Jefri mulai dilepaskan. Tidak ada tanda tanda kehidupan, rasanya sangat kaku. Tangan gue bergetar hebat saat menyentuh Jefri untuk yang keterakhir kali. Entah kenapa rasanya berat untuk melepaskannya untuk selama lamanya...

"Jef.. Lo bilang gue adalah moodboster lo. Lo bilang lo gak akan tampil kalo gak ada gue. Tapi kenapa saat gue ada disamping lo, lo malah pergi ninggalin gue selama lamanya?" tanya gue, gue yang terbiasa tegar tiba tiba menitikkan air mata. Catur ikut menangis, sementara Fifin berusaha tegar.

"... Kalo gak ada lo, kelas bakal sepi. Gak ada yang mainin ukulele sampe gendang telinga pecah. Gak ada yang suka nyanyi Havana sampe gue nyumpel kuping pake kapas," ucap gue sambil mengingat kenangan gue, yang terasa begitu manis tetapi menyakitkan saat gue sadar kenangan itu gak akan keulang lagi.

"Lo jahat sama gue. Lo bohong! Kenapa saat gue marah sama lo, lo malah beliin gue boneka? Kenapa lo gak marah sama gue? Jelasin ke gue, Jef! Kenapa lo pergi saat gue baru sadar kalo gue.. suka.. Sama lo?" nada suara gue mulai bergetar, lidah gue terasa kelu untuk kesekian kali. Mungkin jika gue minta maaf sejak awal, semuanya tidak akan menyakitkan seperti hari ini.

"Gue ramal, lo pasti balik lagi!! Lo pasti akan kembali!!" isak gue.

Dokter menutup jasad Jefri dengan kain putih, dan gue gak akan sanggup lihat semua itu. Gue langsung berlari pergi dari ruangan, diikuti Lena, Fifin dan Catur.

Tuhan, kenapa rasanya sedih? Kenapa gue berat buat ngelepasin Jefri untuk selama lamanya? Tuhan, apakah gue terlalu jahat sama Jefri? Apakah gue gak bisa mendapat kesempatan kedua? Kenapa Engkau mengambil Jefri secepat ini?

***
Bersambung

Maaf yang gak puas dengan ceritanya :"(
Endingnya emang gini:"(

Si Ketua Kelas (TAMAT✔)Where stories live. Discover now