4

2.1K 147 1
                                    

Ternyata,

Jadi seorang ketua kelas itu

Penuh dengan suka duka,

Meski kebanyakan dukanya.

Dan,

Menjadi seorang ketua kelas itu

Gak seindah drama Korea,

Tapi,

Gak seribet sinetron Indonesia.

Keesokan paginya, pagi yang cerah. Tidak ada gangguan. Gue hanya senyam senyum sendiri seraya memandang Bu Ningsih yang sibuk mengajar. Catur buru buru mengibaskan tangannya di depan gue.

"Aduh, kenapa sih Tur?" tanya gue, kzl.

"Lo kenapa, hen? Gak waras?" tanya Catur polos.

"Gak waras apanya? Gue sehat wal afiat, kok! Swear!"

"Terus ngapain lo senyam senyum sendiri kek orgil?"

"Udah, lo liat aja ntar." ucap gue, menenangkan Catur.

Catur menggangguk. Begitu gue menoleh, gue terkejut saat Bu Ningsih berada di dekat gue dengan muka seramnya. Gue nelen ludah.

DUARR!

Tongkat legendaris milik Bu Ningsih jatuh tepat di depan gue. Gue kaget dan spontan teriak latah. Bu Ningsih dengan tatapan menyeramkan langsung berteriak dengan suara toanya.

"Heni, Catur, kenapa kalian berbicara saat berada jam pelajaran saya!" teriak Bu Ningsih.

Gue dan Catur spontan diem.

"Lain kali, kalau kalian ngobrol lagi.." Bu Ningsih menggantung kalimatnya sembari menyentuh tongkat legendarisnya itu. Membuat suasana menjadi hening, dan semuanya menjadi merinding. "Kalian bakal tau akibatnya."

Gue dan Catur nggangguk angguk.

Kemudian Bu Ningsih melanjutkan pelajaran. Dan gak lama setelah itu, bel istirahat berbunyi. Jefri sudah bersiap akan keluar kelas dan menaiki gerbang, serta melakukan bolos yang kemarin sempat gue gagalkan. Tapi sedari tadi Jefri bahkan tidak bangkit dari bangkunya. Bener bener keajaiban dunia.

Gue ketawa ngakak.

Kalian tahu kenapa? Karena bangkunya udah gue tempelin lem super milik Pak Bon, yang gue colong kemarin dari sakunya. Dan gue bisa jamin, Jefri gak bakalan bisa bangkit dari kursi, dia gak bakalan bolos dan citra gue sebagai ketua kelas bakal terjaga. Gue juga gak bakalan di marahin Bu Sari lagi seperti kemarin. Bener bener ide yang jenius, bukan?

"Jefri kenapa, tuh?" tanya Lena.

"Entahlah," gue mengangkat bahu, tapi masih tetep ketawa.

Jefri menatap kesal ke arah gue, tapi gue gak ambil pusing dan tetep ketawa. Hidup itu harus dinikmati, cuy!

Jefri mengangkat pantatnya lagi, tapi kursinya masih menempel, dan tidak ada seorangpun yang bisa menariknya. Cowok cowok di kelas mulai geger dan mencoba menarik kursi berjamaah, tapi tetap saja lengket. Jefri meringis kesal.

"Makanya, jangan suka bolos! Jadi kena karma, kan?" teriak gue, mengompori. Catur hanya ketawa.

"Dia cogan lo, Hen. Jahat banget ah," ucap Catur.

"Ah, baperan lo." ucap gue.

"Awas, benci bisa jadi suka." goda Fifin.

"Ah, berisik deh. Yang penting Jefri udah gak bolos lagi, dan gue juga gak bakalan dimarahi guru kayak kemarin. Simpel, kan?" ucap gue sembari menepuk dada, bangga. "Biar jadi pelajaran buat Jefri. Biar lain kali, dia gak bol-"

SREKKKK... Gue, Lena, Catur dan Fifin spontan noleh, kemudian ketawa ngakak saat melihat kursi itu terlepas dari pantat Jefri, bersamaan dengan celana Jefri yang sobek. Dan gue yakin Jefri mulai kehilangan harga dirinya saat itu juga.

Satu kelas menjadi riuh.

Ah, Jefri. Kemarin lo udah nyusahin gue dan bikin gue dimarahin guru, kan? Sekarang rasain. Sekarang lo yang bakal nyesel udah ngeremehin seorang Heni Selviana Anggraini.

***
Bersambung

Si Ketua Kelas (TAMAT✔)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon