Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

Bab 2

40.2K 4.5K 92
                                    

Tepian gaun Tilly menyibak rerumputan yang tingginya sudah lebih dari sejengkal telapak tangan orang dewasa. Jalan setapak yang dulu senang dia lalui sambil melompat-lompat sudah tidak tampak rupanya. Dan berjarak sepuluh langkah lagi, bangunan yang Tilly ingat sebagai rumah pertama seorang Margareth Hommand dilahirkan tampak begitu usang.

Ya, ampun, apa yang terjadi pada kediaman keluarga MacKay?

Tilly mempercepat langkahnya. Namun, rumput, ilalang, dan tanah becek merupakan kombinasi terbaik penghalang jalan. Gaun yang lebar dan panjang membuat siapa pun kesulitan berjalan di medan tidak rapi begini. Sebuah ranting menyangkut pada ujung gaun. Tilly menarik paksa roknya hingga dia terhuyung ke belakang. Kopernya terlempar dan jatuh pada kubangan lumpur. Topi Tilly merosot ke dahi. Dia membenahinya asal dan berjalan menuju kopernya yang kotor oleh lumpur. Baru maju tiga langkah, kakinya terpeleset. Tilly jatuh ke depan. Tangannya terulur berusaha menghindari kubangan lumpur malah menimbulkan cipratan besar yang menyerang muka.

Gaun, muka, dan koper kotor. Jangan lupakan posisinya yang membungkuk dengan tangan menopang bobot badan. Tilly serupa kambing gunung yang jatuh ke kubangan.

Apa cukup sial?

Tidak.

Ketika Tilly mendongakan kepala, pandangannya bertubrukan mata biru seorang pria yang membesar ke arahnya. Detik itu juga Tilly memohon satu hal paling gila. Tolong kirimkan seribu lebah untuk mengerubunginya!

Memalukan!

"Kau butuh bantuan, Miss?" tanya pria itu selembut mungkin. Tilly berada di pekarangan rumah MacKay yang tidak terawat, sementara si pria berpakaian necis berdiri di luar pagar. Tilly tidak ingin menambah daftar kemalangannya. Sesungguhnya, dia tidak ingin membagi kemalangannya pada pria baik itu. Yang kemudian Tilly lakukan adalah duduk. Dia duduk di atas lumpur, menyibak anak rambut yang menggantung di depan hidungnya, dan merapikan posisi topinya.

"Terima kasih, Sir. Aku baik-baik saja. Kudengar lumpur cukup baik untuk kecantikan kulit," balas Tilly dengan senyum lebar dan kepercayaan diri palsu demi menutupi serangan malu yang mendera. Tangannya mengangkat segunduk lumpur yang kemudian menetes ke gaunnya.

Pria itu mengulum senyum, lantas berdehem dan melonggarkan kerah kemejanya sembari memasang sebuah senyum menawan. Andaikan Tilly tidak dalam kondisi buruk rupa, ingin sekali Tilly menanyakan nama pria itu. "Yang aku dengar, wanita Perancis menggunakan lumpur dari Laut Mati. Bukan lumpur di pekarangan rumah MacKay."

Skakmat.

Tilly harusnya membuat alibi yang lebih cerdas. Dia tertawa sumbang demi mencairkan suasana dan pria itu tersenyum makin lebar hingga menampilkan gigi depannya. Tilly ingin menggaruk lumpur di hadapannya, membenamkan wajah, dan tidak memperpanjang percakapan aneh bersama pria setampan itu.

"Siapa yang membuat hipotesis bahwa lumpur di pekarangan rumah MacKay tidak bermanfaat bagi kulit?" Kedua tangan Tilly bergerak menyisir pekarangan dengan senyum luar biasa lebar. Dalam hati, dia mengutuk kebodohannya.

"Ah, benar juga." Pria itu mengangguk kecil. kendati membuat Tilly mendesah lega, pria itu menyela, "Tapi ... dua hari lalu aku lewat sini. Aku melihat Mels MacKay mengomel kepada Si Tua Tobey."

"Kenapa Bibi Mels mengomeli Kakek Tobey?" tanya Tilly, heran.

"Si Tua Tobey menggiring ternak babinya bermain di pekarangan ini," jawab si pria santai.

Babi. Lumpur. Tidak ada lagi alasan Tilly berlama-lama di situ. Dia mengangkat roknya, meraih kopernya dengan dongkol, dan berjalan menghentak penuh emosi. Di belakang punggungnya derai tawa si pria membuatnya tambah jengkel.

Tilly's New DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang