Chapter 4

18.5K 960 12
                                    

WARNING !!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran

Happy reading😊

Waktu menunjukkan pukul 23.46.

Hampir tengah malam dan Hanna belum bisa tidur. Ia menunggu suaminya pulang.
Hanna tahu Bisma tidak lembur. Ayah mertuanya bilang pada Bisma untuk tidak lembur sampai sebulan kedepan. Dan Bisma mengiyakannya.

Ponsel Hanna berdering, membuat gadis itu cepat-cepat menghampiri nakas untuk meraih ponselnya. Siapa tahu ada kabar dari suaminya.

Sedikit kecewa saat Hanna membaca nama orang yang menghubunginya.
Hanna pun segera mengangkatnya.

"Ilham," sapa Hanna pelan.

"Sudah kuduga kau belum tidur. Aku kan sudah bilang jika Bisma ada di rumah sakit. Mungkin dia tidur di sana malam ini."

"Begitu, ya?" Hanya itu tanggapan Hanna. Ia sendiri tak mengerti mengapa ia harus menunggu kepulangan Bisma sedangkan pria itu saja tak pernah menganggap Hanna sebagai istrinya.

"Hey, kakakku yang kelewat cerdas, kau tahu maksudku, kan? Lebih baik kamu tidur sekarang!"

Hanna meringis mendapat sentakan dari Ilham. Ia tahu Ilham tak benar-benar memarahinya. Tapi Hanna juga tak bisa menuruti perintah Ilham.
Ia akan menunggu Bisma hingga pulang.
"Kututup, ya."

Sebelum Hanna mengakhiri sambungan, Ilham terlebih dulu melakukannya.

Hanna duduk di tepi ranjang.
Matanya mengedar ke setiap sudut kamar. Di sini, semuanya tentang Calista.
"Ini tidak akan lama, Hanna. Kamu harus kuat." Hanna menguatkan dirinya sendiri.

Lalu terdengar suara mobil Bisma yang memasuki pekarangan rumah dan tak lama kemudian mesinnya mati.

Hanna segera naik ke ranjang dan menarik selimutnya dan pura-pura sudah tidur.

*
*
*

Bisma pulang ke rumah setelah sedikit mendapat paksaan dari Nadine agar pulang.
Ia sebenarnya masih betah menemani Calista dan sangat malas untuk pulang lalu melihat Hanna.
Sungguh Bisma sangat muak melihatnya.

Bisma memasuki kamarnya yang sudah redup.
Matanya memicing melihat Hanna tertidur memunggungi pintu.

Bisma segera menghampirinya dan menarik rambutnya agar bangkit dari ranjang.

Hanna memekik tertahan dan sangat kaget atas perlakuan Bisma ini.
"Arh, Bisma, i-ini sak-kit." Hanna merintih sembari memegangi tangan Bisma yang menjambak rambutnya semakin kuat.

Bisma menarik Hanna dengan satu sentakan kasar dan menghempaskannya ke lantai hingga Hanna tersungkur.
"Siapa yang mengizinkanmu menyentuh ranjangku?" murka Bisma dngan wajah yang sudah merah padam. "Dasar bodoh! Jangan membuatku semakin jijik padamu!"

Hanna tentu saja kaget. Kemarin saat di rumahnya, ia dan Bisma tidur satu ranjang walau saling memunggungi. Hanna tak mengerti jalan pikiran suaminya.
Apa pun yang Hanna lakukan adalah kesalahan di mata Bisma.

"M-maaf," ucap Hanna terbata. "Aku ha-harus tidur di mana?" tanya Hanna tanpa berani menatap Bisma.

"Di lantai. Tanpa alas." Bisma menekan ucapannya tanpa peduli perasaan gadis dihadapannya itu.

Hanna terkejut. Ia tidak pernah berpikir jika Bisma bisa setega ini padanya.
Kemarin ia tidur di luar dengan udara malam yang sangat menusuk lalu paginya mendapat siraman air yang tak kalah dingin kemudian sekarang ia disuruh tidur di lantai keramik tanpa karpet atau alas apa pun.
Tapi yang dilakukan Hanna hanya mengangguk patuh. Ia tak bisa melawan walau ia ingin.

HURT (Sudah Terbit)✔Där berättelser lever. Upptäck nu