DUA PULUH

27.8K 1.1K 394
                                    

"Kalau begitu sampaikan pada Pak Adrian Yang Terhormat untuk tidak usah menganggap saya sebagai anaknya. Bilang pada Bapak Adrian bahwa saya tidak mau menjadi anaknya lagi."

"Maaf, Bu Savarina, suaranya tidak terdengar jelas."

SIALAN! Savarina segera membanting ponselnya. Bagaimana lagi ia harus mengeluarkan unek-uneknya? Di rumah ini ia tidak punya orang untuk bicara. Suaminya sudah menjelma menjadi monster. Sementara ayahnya tidak pernah ada untuknya! Dan Fathir...

Tidak, Savarina tidak sampai hati mengganggu kakaknya.

Savarina merasa napasnya sesak. Ia lekas berbaring di tempat tidur dengan bahu yang naik-turun. Air matanya sudah mengering. Namun ia tetap merasa sedih. Perlahan ia merasa lelah dan terlelap. Matanya terbuka lagi saat didengarnya pintu diketok.

Bukan, dipukul keras. Berkali-kali.

Ya Tuhan. Kenapa cobaan ini tidak berhenti saja? Kalau saya memang tidak ditakdirkan dengannya, kenapa tidak Kau pisahkan saja kami, Tuhan? Kenapa?

"SAVARINA! CEPAT BUKA! KALAU KAMU TIDAK BUKA, SAYA AKAN PANGGIL ORANG UNTUK DOBRAK PINTU INI!"

Aduh.

Berapa lama lagi aku harus menghadapi ini?

Savarina berdiri dan membuka pintu. Dilihatnya Ernaldi menatapnya dengan gusar. Ah, lagian kapan sih suaminya menatapnya dengan mesra? Kenapa Savarina harus kaget?

"Ngapain kamu di sini?!" tanya Ernaldi keras.

"I don't wanna sleep with you," sahut Savarina datar.

"Ya, saya juga tidak mau tidur denganmu sejak hari pertama kita nikah. Tapi kamu lihat sendiri kan, saya bisa melakukannya karena saya tahu saya ini SUAMI kamu. Dan sebagai istri, sudah seharusnya kamu tidur di samping saya!"

Penjelasannya sungguh mengiris hati, tapi Savarina tetap tidak mau.

"Saya mau sendiri dulu, Ernaldi. Beri saya waktu."

"Waktu untuk apa?"

Untuk pergi darimu!

"Saya tidak mau bertengkar untuk saat ini. Kalau kamu terus memaksa sesuai kehendakmu, saya rasa salah satu dari kita akan cepat bunuh diri."

"Apa maksud dari perkataanmu?"

"Jangan ganggu saya, Ernaldi. Apa saya pernah minta banyak darimu? Kamu mau kembali ke kehidupan lamamu, silakan. Kamu tidak bisa mencintai saya, terserah. Kamu tidak mau memperlakukan saya selayaknya seorang suami mengayomi istri, saya akan biarkan. Saya sudah tidak terlalu peduli lagi dengan itu. Saya lelah, Ernaldi."

"Sudah menjadi tanggung jawabmu sebagai istri untuk terus mendampingi suamimu, Savarina," kata Ernaldi tidak mau ditawar. "Kalau kamu terlalu capek untuk jalan ke kamar, saya yang akan tidur di sini." Lalu bibir Ernaldi membentuk senyuman licik. "Misery needs company, baby. And you're welcome to try to stay away from me. And, I, your husband, with one of his marital rights, will bed you whenever I need to release my seed."

Dan malam itu, Ernaldi menggaulinya.

****

Sementara di tempat lain, asisten Adrian Djojodiningrat meletakkan gagang telepon di tempatnya. Tak jauh darinya, tampak Adrian Djojodiningrat sedang duduk di balik meja kerjanya. Dihisapnya cerutunya dalam-dalam sampai akhirnya ia berkata pada dirinya sendiri. "Suatu hari nanti Savarina akan mengerti mengapa saya melakukannya. Dia akan mengerti bagaimana ayahnya menyayanginya."

***

Bukan kebebasan yang diraihnya, melainkan pengekangan yang luar biasa.

Hari itu Ernaldi sengaja cuti (lagi) untuk memastikan CCTV lebih banyak terpasang rapi di rumah. Tadinya kamera CCTV hanya ada di beberapa sudut ruangan. Kini, hampir di setiap sudut, terutama di depan kamar tamu dan garasi terdapat banyak kamera. Suaminya juga menambah satpam di rumahnya. Ketika Savarina sedang menyantap sarapannya di ruang makan, ia mendengar Ernaldi memerintahkan semua orang di rumah untuk tidak membiarkannya pergi dari rumah. Mendengarkan ocehan suaminya ia tidak napsu makan. Ia membuang semua makanan di piringnya ke tempat sampah.

Tidak terpikir olehnya suaminya akan bodoh begitu. Untuk apa Ernaldi menghabis-habiskan uang hanya untuk tahu ia tidak meninggalkan rumah? Ernaldi tidak perlu membuat ancaman seperti itu. Cukup membentak istrinya saja sudah bisa kok membuat istrinya stay di rumah. Ya, memang betul. Savarina tidak punya gairah lagi dalam hidupnya. Bahkan ia terpikir untuk menyayat nadi di tangannya saja untuk mengakhiri hidupnya. Tapi ia tidak bisa melakukannya dengan janin di dalam kandungannya.

And at some point, I don't wanna get pregnant, keluhnya. Ia melangkah ke kamar tamu, duduk di depan meja riasnya. Diperhatikannya wajahnya yang semakin tirus. Sudah tidak ada rona di wajahnya. Wajahnya pucat pasi karena terlalu lelah berseteru dengan suaminya. Belum lagi rasa mualnya tidak hanya datang di pagi hari saja. Tadi malam setelah melakukan hubungan, ia ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi lambungnya. Suaminya tidak merasa terhina dengan apa yang dilakukannya. Malahan, sebelum suaminya tidur, suaminya menandaskan, "Kamu memang pantas begitu karena kamu telah melawan suamimu!" Dan suaminya tanpa mau dilawan lagi menutup matanya. Savarina menaruh bantal guling di antara keduanya agar ia tidak bersentuhan dengan suaminya. Saat subuh, ia muntah lagi, dan suaminya sudah tidak ada di kamar.

Suaminya pasti menghindarinya yang akan meletakkan kepalanya di dada suaminya.

Savarina kembali menatap wajahnya di kaca. What have I done to deserve all of this, lagi-lagi ia mengeluh begitu. Ia mengingat-ingat apakah di masa lalu ia telah menyakiti hati seseorang sampai ia menderita seperti ini. Kalau boleh memilih, lebih baik hidup miskin tapi tidak sakit kepala karena perlakuan suami daripada dapat suami kaya tapi hidupnya menyedihkan seperti ini.

Disisirnya rambutnya pelan-pelan. Kepalanya mulai sakit berlebih setiap tersentuh oleh benda lain. Setelah rambutnya rapi, dilihatnya beberapa helai rambut di sisir. Ya, rasa stres ini pasti menjadi pemicu kerontokan rambutnya. Ada rasa keinginan memotong rambutnya yang rontok ini. Tapi bagaimana pergi ke salon? Suaminya bahkan tidak mengizinkannya pergi.

Dari refleksi kaca dilihatnya suaminya berdiri di depannya. Dengan satu tangan di kantongnya, suaminya berkomentar, "Seperti yang kamu tahu semua ruangan sudah ditaruh CCTV kecuali kamar tidur dan kamar mandi. Saya juga minta satpam untuk terus mengawasimu melalui itu. Dan..."

Savarina membalikkan tubuhnya dan mengangguk patuh.

"Saya benci untuk mengatakan hal ini tapi kamu memang tidak bisa dipercaya, Savarina. Saya melakukan ini agar saya tahu.."

"Bahwa saya tetap setia padamu, saya mengerti," sela Savarina pelan.

"Bagus kalau kamu menyadari hal itu."

Keduanya diam. Savarina tahu jika ia menyahut satu kata saja, mereka akan berakhir dengan pertengkaran yang terus memojokinya. Entah mengapa ruangan itu terasa dingin sekali padahal Savarina sudah mematikan AC dan membuka jendela agar tetap mendapat udara. Dalam diam, Savarina mengawasi suaminya yang juga sedang menatapnya.

Dalam hatinya ia bertanya-tanya, apa yang dipikirkan suaminya saat ini. Savarina tahu ia tidak pernah bisa menjadi istri yang baik kendati ia terus mengingatkan dirinya bahwa ia sudah melakukan yang terbaik. Ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang diinginkan suaminya. Ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di pikiran suaminya. Dan di sisi lain, ia merasa wanita itu yang bisa menaklukkan hati Ernaldi. Yang tahu caranya memadamkan kemarahan suaminya. Pasti tidak sulit untuk melakukannya. Adik iparnya bisa membantunya. Tapi untuk datang pada selingkuhan suaminya dan bertanya bagaimana menghadapi pribadi Ernaldi adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Selain itu Savarina tidak mau merasa terintimidasi dengan kecantikan wanita itu. Savarina memilih untuk tetap berada di tempatnya.

Beberapa menit berlalu dan keduanya masih membungkam mulut mereka.

Akhirnya Ernaldi memecah kebisuan.

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora