DUA

76K 2.4K 1.5K
                                    

"Kamu tahu berapa uang yang dikeluarkan ayahmu untuk pernikahan ini?"

"Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana hubungan saya dengan ayah saya!" Savarina menghela napas panjang. Ia duduk di tempat tidur dengan perasaan geram.

Ya, ia tidak pernah bercerita pada suaminya mengenai ayahnya yang pilih kasih. Papa selalu memperhatikan Fathir, kakak Savarina, karena Fathir anak laki-laki. Sementara Papa hanya memberikannya uang dan uang namun tidak pernah menyayanginya selayaknya ayah terhadap putrinya. Savarina sudah sering menelan rasa sakit hatinya untuk seorang diri. Ia bahkan tidak bisa membagikan cerita sedih itu pada suaminya sendiri, laki-laki yang paling dekat dengannya selama empat tahun terakhir! "Ernaldi. Saya ingin kita berpisah."

"Berpisah? Apa yang merasuki tubuhmu sekarang, Savarina, hm?" tanya Ernaldi cuek. "Bukankah kamu memastikan ayahmu mengatur semuanya?"

Papa memang ingin sekali Ernaldi jadi menantunya karena Ernaldi dinilai sebagai pria mapan dan baik. Dan yang paling penting, dia anak sulung Dimas Prawidjaja, pengusaha sekaliber sehebat papa Savarina. Savarina tidak mengerti mengapa orangtua mereka ingin mereka menikah. Karena dari luar maupun dalam, mereka sama sekali tidak ada kecocokan. Ernaldi yang flamboyan, easy going, ganteng, dan bisa memikat hati siapa saja dengan kepintarannya. Tidak heran. Dia lulusan MIT, pernah bekerja sebagai engineer di perusahaan mobil di Jerman, kemudian melanjutkan usaha properti ayahnya. Terdengar mimpi yang menjadi kenyataan, bukan? Bagaimana dengan Savarina? Savarina lulusan bisnis dari NYU dan tidak pernah benar-benar bekerja. Ayahnya melarangnya untuk bekerja. Setelah lulus ia disuruh sibuk bergaul dengan sosialita-sosialita di fashion show dan gala dinner. Papa ingin ia dikenal di kalangan elit. Karena itulah tidak heran orang lain menganggapnya manja karena ia selalu difasilitasi oleh ayahnya.

Kalau kamu terlahir dengan kekayaan yang berlimpah, salah siapa?

Tidak banyak yang tahu bahwa Savarina tidak menyukai kehidupan gemerlap seperti itu. Tidak banyak yang tahu pula ia menghabiskan sebagian uangnya untuk disumbangkan ke foundation peduli anak yang didirikan adik iparnya. Bukan mereka tidak tahu. Orang lain hanya tidak peduli dengan sisi kehidupannya yang itu. Mereka mengenal Savarina Djojodiningrat sebagai sosialita yang tidak tahu rasanya hidup susah.

"Jujur saja kalau tidak menyakiti hati orangtua kita, saya ingin bercerai, Ernaldi," kata Savarina, menunduk lantaran tidak berani membalas tatapan suaminya. "Saya sudah menghubungi Saras dan bertanya bagaimana prosedurnya." Saras adalah sepupu Ernaldi yang tak lain seorang lawyer.

"Kita tidak bisa bercerai," kata Ernaldi. "Bukankah kamu mencintai saya?"

"I don't love you anymore," jawab Savarina, menggigit bibirnya. Ia berusaha menenangkan nada suaranya agar tangisnya tidak pecah. "Saya ingin bercerai, Ernaldi."

"Saya tahu, tapi tidak sekarang." Suaminya menghampirinya dan dengan satu tangannya, diangkatnya dagunya sehingga kini mereka bertatapan. "Kamu harus berikan saya anak laki-laki, Savarina, sebagaimana kamu menjanjikan saya di malam pertama kita. Dengan begitu kita bisa keluar dari pernikahan sialan ini."

"Sialan?" ulang Savarina getir. "Kamu menyebut pernikahan ini sialan?"

"Tentu saja." Ernaldi melepaskan dagunya dengan kasar sampai ia mundur beberapa centi. Didengarnya suaminya menggeram. "Pernikahan ini tidak akan terjadi seandainya kamu becus cari laki-laki. Kamu bisa cari pasangan sendiri! Sekarang, kamu lihat kan bagaimana kita? Saya harus terjebak pulang ke rumah ini, melihatmu! Sementara kamu... Apakah kamu tidak berpikir sedikit pun tentang perasaan saya?"

"Sekarang saya nggak ngerti kamu ngomong apa," jawab Savarina bingung.

"Ya, nada sedih itu lagi," kata Ernaldi muak. "Jadilah istri yang baik. Dan berhentilah bicara tentang perceraian sampai kamu memberikan saya anak!"

"Saya nggak ngerti. Kenapa kamu ingin punya anak dari saya, perempuan yang kamu benci? Kenapa?" Tadi air matanya masih ditahan, kini sudah tidak terbendung lagi. Setetes demi setetes air matanya membasahi wajahnya.

"Kamu benar-benar mencintai saya?"

"Tadinya, ya."

Ernaldi menarik napas. Ia kesal sekali. "Tidurlah. Jangan bicarakan hal ini lagi," bujuknya. "Saya lelah sekali."

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Where stories live. Discover now