TIGA BELAS

32.2K 1.4K 382
                                    

Karena itu, walaupun Savarina melayaninya dengan baik, ia tetap tidak bisa memaafkan apa yang telah dilakukan perempuan itu kepadanya. Dasar perempuan manja! Dia bisa mengatur kehidupan orang lain seenak jidatnya karena ayahnya punya apa yang diinginkan keluarga Ernaldi!

Saat mereka menikah usia keduanya masih sama-sama dua puluh tiga. Pada tahun pertama Savarina masih memperhatikannya dengan kasih sayang meskipun tergambar dari wajahnya ia tidak mengerti mengapa sikap Ernaldi terus dingin padanya, tapi dia tetap berusaha hangat pada suaminya. Tahun kedua sikap istrinya masih sama. Tahun ketiga sikap Ernaldi sudah mulai ketus karena Savarina tak kunjung memberikannya anak. Dan tahun keempat...

Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi.

"Kalau boleh, saya ingin tinggal di rumah keluarga saya," kata istrinya ketika ia sedang mengemudikan mobil dari rumah sakit. "Saya ingin memberitahu Papa dan Fathir mengenai kehamilan ini."

"Kenapa harus tinggal? Kan bisa ketemu saja?" sahut Ernaldi datar.

"Papa sudah mulai sakit," kilah Savarina. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Papa memang benar-benar sakit, tapi Papa tidak sendiri. Fathir dan istrinya sudah mengurus Papa dengan baik. "Saya ingin merawatnya."

"Jangan, nanti kamu kecapekan."

Savarina tidak tahu harus mengatakan apa.

"Kamu tidak boleh ceroboh, Savarina," Ernaldi memberikan penjelasan. "Kalau kamu kecapekan, itu nggak bagus buat kesehatanmu."

"Maksudnya, kesehatan bayi saya?"

"Bayi kita," ralat Ernaldi. "Tentu saja untuk kesehatanmu juga."

"Sebenarnya saya tidak ingin bertengkar.. Di rumah lama saya, saya bisa menenangkan diri."

"Kamu yakin bisa menenangkan diri? Apa kata ayahmu nanti jika melihat suamimu membiarkanmu tinggal di sana denganmu dalam keadaan hamil?" Ernaldi berdecak kesal. "Tidak usahlah kamu buat perkara semacam itu. Nanti kalau mau ketemu saya antar ke sana. Tapi sekarang, kamu harus istirahat dulu."

"Di sana ada Mbok yang bisa mengurus saya. Untuk sementara ini saya nggak bisa melakukan apa-apa dulu. Saya mau tidur terus bawaannya."

"Nanti saya minta orang rumah ayahmu untuk mengantarkan Mbok ke rumah."

Huh, skakmat, pikir Savarina. Apakah suaminya tidak tahu bahwa Savarina tidak tahan melihat suaminya di rumah? Savarina merasa jijik setiap ia berdekatan dengan suaminya. Ernaldi, yang dilihat dari luar punya segalanya, ternyata tak ubahnya dengan pria matrealistis! Mengukur semuanya dengan uang. Bahkan menikah pun hanya untuk saham!

Sesampainya di rumah Savarina tidak bicara banyak. Ia langsung mengganti baju dan istirahat di kamar, sementara suaminya pamit untuk kembali ke kantor.

Saat suaminya meninggalkan rumah, Savarina merasakan ketentraman. Tidak ada yang memarahinya. Melarangnya. Dia merasa benar-benar menjadi dirinya sendiri. Setiap memikirkan suaminya ia selalu berakhir di kamar mandi, memuntahkan isi lambungnya.

Dia tidak tahu apakah itu dampak dari kehamilannya atau stress karena suaminya. Semua ini terasa berat untuknya. Hanya berapa bulan lagi dia bisa bersama Ernaldi? Begitu ia melahirkan, jangan-jangan suaminya langsung menyerahkannya surat cerai?

Savarina tidak ingin bercerai. Ia ingin suaminya mencintainya.

Pernikahan ini memang adalah kesalahan. Mereka menikah tanpa ada landasan cinta. Lebih tepatnya, tidak ada cinta yang diberikan Ernaldi untuknya.

Aku hanya perempuan bodoh, pikir Savarina sambil mengelap wajahnya di westafel. Aku mencintai pria yang tidak ada harganya! Saat akad dulu, aku merasa hidupku sudah sempurna. Pria yang kucintai mau membina rumah tangga denganku. Nyatanya, dia pria jahat yang keji! Aku bahkan tidak mau melihat wajahnya lagi!

Dia membuatku tidak tahu arti bahagia.

Apa salahku sampai dia memperlakukanku seperti ini? Niatku ketika menikah adalah untuk mencintainya, melayaninya sepenuh hati. Aku tidak ingat pernah menyakiti hatinya tapi dia terus menemukan cara untuk terus menyakitiku. Kenapa dia senang sekali melukai hatiku?

Ketika ia kembali ke kamar, makanan sudah ada di meja dekat tempat tidur. "Sebelum berangkat Bapak tadi titip pesan untuk mengantarkan makanan ke kamar, Bu," kata Bibi memberitahu. "Maaf saya nggak ketok pintu dulu. Kata Bapak, Ibu sedang tidur. Jadi taruh saja begitu."

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Where stories live. Discover now