LIMA BELAS

26.6K 1.1K 392
                                    

Tanpa diduga suaminya mengecup dahinya sebelum ia mengelak. Cukup lama ia menutup matanya dan ia tahu bahwa Ernaldi terus memandangnya. Setengah jam berlalu. Ketika ia membuka matanya, Ernaldi turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Savarina menyeka wajahnya dengan telapak tangannya, kemudian ia mengikuti suaminya.

Suaminya baru saja menutup pintu ruang kerjanya. Savarina menghela napas panjang. Suaminya mengurung diri di ruangan itu setiap menghindari pertengkaran. Perasaan bersalah menjalar di hati Savarina. Apakah dia terlalu keras pada Ernaldi? Apakah seharusnya dia berikan saja kesempatan pada suaminya?

Savarina baru saja hendak mengetuk pintu namun dihentikannya niatnya ketika ia mendengar suara suaminya.

"Tolong sambungkan pada Pak Adrian.... " Jeda. "Halo, Pa, ini saya Ernaldi. Keadaannya tidak bisa saya kendalikan lagi, Pa. Savarina ingin cerai dari saya." Jeda cukup lama. "Tentu saja saya tidak bisa! Cinta itu tidak bisa dipaksakan, Pa! Papa tahu sendiri saya sudah punya kehidupan sebelum saya menikahi putri Papa!" Jeda. "Bagaimana bisa Papa tidak memberitahu Savarina mengenai kontrak itu?!"

Astaga.

Savarina menangkupkan kedua tangannya di mulutnya. Suaminya sedang bicara dengan ayahnya! Disandarkannya kepalanya di dinding. Papa, Ernaldi, dan ayah mertuanya adalah orang-orang hebat yang tidak bisa dilawannya. Dia tidak bisa memperjuangkan kebahagiaannya lagi.

Kalau Ernaldi tidak mau bersamanya lagi, dan kembali ke kehidupannya yang dulu, kenapa dia bilang dia menginginkan pernikahan yang sesungguhnya? Apa maksud Ernaldi dengan semua ini? Kenapa dia selalu melukai hatinya dengan caranya sendiri? Apakah bagi Ernaldi semua ini adalah permainan?

"Savarina."

Ernaldi berdiri di depannya. "Sedang apa kamu di sini?" tanya suaminya.

"When we were married I loved you so much to death. Now I want you to tell me everything! I want you to explain why you married me!"

"You overheard my conversation with your father, didn't you?" Rahang Ernaldi mengeras. Dilihatnya istrinya mengangguk. "I had no choice, Savarina. To get what I wanted I had to take you as my wife." Ernaldi mengutuk dirinya saat matanya menangkap penderitaan di mata istrinya. "I admit that I did some things to deliberately hurt you, because my pride was really hurt too."

"Kalau begitu jelaskan sekarang!" isak Savarina.

"You'll soon know."

Dan Savarina tahu ini semua tidak akan mudah. Tidak pernah ada yang mudah sejak ia menjadi istri Ernaldi. Ia berdoa, agar hatinya dikuatkan oleh Yang Mahakuasa untuk mendengarkan Ernaldi.

***


Sebelum ia menikah dengan Ernaldi, ayahnya memberitahunya bahwa Ernaldi sebenarnya menyimpan hati padanya. "Lelaki seperti itu memang tidak mengekspresikan perasaannya dengan mudah, Sava. Tapi Papa tahu sekali dia pasti mencintaimu." Dan tentu saja Savarina yang bodoh percaya begitu saja pada ayahnya. Karena itu meskipun sikap Ernaldi terus dingin padanya, dia tetap menyayangi pria itu. Dia tahu barangkali sulit bagi orang Ernaldi yang sempurna untuk mencintai perempuan yang biasa-biasa saja seperti dirinya.

Tapi perempuan yang biasa-biasa ini punya hak juga kan untuk dicintai oleh suaminya sendiri?

Ia tidak pernah menyentuh Ernaldi jika pria itu tidak memberikan tanda untuk mengizinkannya. Selama ini Ernaldi-lah yang menyentuh, mencium dan menjamahnya lebih dulu. Tugasnya hanya merespons. Dan sentuhan itu hanya bisa diperolehnya di kamar, tok. Tidak pernah ia bermesraan di luar kamar. Ia juga tidak pernah bisa bicara apa yang ada di pikirannya sebelum mempertimbangkan apakah topik yang akan diangkatnya tidak menyakiti hati suaminya. Selain itu banyak hal yang ia lakukan yang tidak dihargai suaminya. Contohnya, setiap ia memasak, suaminya tidak pernah mau mencicipi makanan buatannya. Bahkan suaminya tidak pernah makan di meja makan yang sama karena Ernaldi memilih untuk makan malam di kamar kerjanya. Karena itu Savarina memilih untuk menghabiskan waktu melakukan pekerjaan sukarela agar pikirannya tidak terbebani atas sikap suaminya.

Savarina agak heran ketika suaminya mengajaknya ke restoran dekat rumah. Dia tidak pernah makan malam bersama Ernaldi berdua saja. Di restoran pula. Restoran yang dari luarnya saja sudah terlihat megah dengan lampu-lampu kristal menerangi bagian luarnya. Begitu mereka masuk, pelayan menyambut mereka dan mengantarkan mereka ke meja di ujung dekat jendela. Setelah mereka duduk pelayan memberikan menu pada mereka.

"Tidak banyak yang tahu bahwa makanan seafood di sini enak-enak," kata Ernaldi membuka pembicaraan. "Saya suka sekali nasi goreng kepiting di sini. Kamu sudah tahu mau pesan apa?"

"Wait..." Savarina membolak-balikan menu. "Caesar salad, no dressing with toast."

"Main course-nya?"

"That would be it."

Dilihatnya permukaan wajah Ernaldi menahan marah. "Savarina, sekarang kamu itu bukan ngasi makan ke kamu saja, tapi ke anak kita! Kamu jangan ceroboh, dong. Kalau kamu tidak tahu mau pesan apa, biarkan saya yang memilihkan menu untukmu. Apakah kamu suka lobster?"

Savarina menggeleng.

"Kalau begitu, kepiting?"

Sekali lagi istrinya menggeleng.

"Apa kamu sengaja melaparkan dirimu? Sebenarnya ada apa denganmu, Savarina?" tanya Ernaldi gusar. "Apa jangan-jangan... kamu sedang memikirkan kawanmu itu?!"

"Tidak semua orang lari ke perselingkuhan saat hidupnya tidak tentram, Ernaldi," Savarina membela diri, sekaligus menyindir.

Bukannya merasa tersinggung, suaminya malah semakin marah. "Apa maksudmu?" Kedua matanya menyipit.

"Well, saya banyak membaca media tentangmu dengan perempuan-perempuan lain. Saya tidak mengerti kenapa kamu melakukannya. Yang jelas karena perbuatanmu, orang-orang pasti berpikir bahwa saya tidak bisa membahagiakan suami saya sendiri karena itu suami saya main di luaran!"

"Dan saya sudah mengklarifikasi bahwa perempuan-perempuan yang kamu maksud itu teman-teman saya," jawab Ernaldi tenang. Dia sudah tidak marah lagi. "Jangan menuding saya yang bukan-bukan. Sebaiknya saya pesankan kamu kepiting saus..."

"I can't eat seafood. I am allergic to it," jawab Savarina. "Setiap saya makan seafood kulit saya merah-merah. Saya tidak pernah makan makanan laut sejak dua puluh dua tahun yang lalu."

Ditekankan begitu sikap Ernaldi berubah kikuk. Wajahnya memerah karena malu. "Maaf saya tidak tahu. Kalau begitu kamu mau nasi dan ayam hainam saja?"

"Boleh."

Ernaldi memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah pelayan selesai menyatat pesanan mereka dan pergi, Savarina langsung bertanya, "Jadi, kenapa kamu menikah dengan saya?"

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang