TUJUH

44.6K 2K 498
                                    

"Kenapa kamu berpikir demikian?"

"Apakah kamu menyadari ini pertama kalinya kita bicara di rumah ini, dan bukan di tempat tidur?" Savarina tertawa miris.

"Nada sedih itu lagi," cemooh Ernaldi muak. "Bukankah saya sudah memberitahumu untuk bersabar? Sabarlah, cinta itu pasti datang! Tapi mungkin tidak sekarang. Kenapa penting sekali bagi kamu untuk dicintai?"

"Ini bukan membicarakan soal cinta saja, Ernaldi. Tapi apakah semua pasangan seperti kita?Kita tidak pernah melakukan apa-apa di rumah ini kecuali seks, apakah kamu tidak menyadarinya? Kita tidak pernah makan bersama. Kalau pun bersama, kamu cepat sekali pergi! Kamu lama sekali di luaran sementara saya menunggumu di rumah!"

"Kamu hanya tidak menunggu di rumah," sela Ernaldi tidak terima. "Saya mengizinkanmu untuk berkegiatan di foundation adikku, apakah itu belum cukup? Kamu juga kuberi nafkah lebih dari cukup! Jangan seolah-olah berkata aku tidak melakukan apa-apa! Justru kamulah yang tidak bisa melakukan tanggungjawabmu sebagai istri!"

Savarina mengangguk. "Ya, memiliki anak, kan? Itulah arti saya bagi kamu. Rahim saya yang terpenting."

"That's it. Ini pasti pertemuanmu dengan kawan lamamu makanya kamu jadi seperti ini. Saya pastikan kamu tidak pernah bertemu dengan mereka."

"Saya memang tidak akan menemui mereka. Kamu tahu kenapa? Karena mereka menjalani kehidupan yang mereka sukai dan saya tidak. Kamu membuat hidup saya seperti ini, Ernaldi."

"Saya juga tidak menghendaki kehidupan ini bersamamu, Savarina. Tapi saya harus menerimanya dengan hati lapang. Saya harap kamu bisa melakukannya."

"Saya ingin bercerai, Ernaldi. Kamu bisa punya seribu anak dari perempuan lain, tapi tidak dari saya. Empat tahun sudah cukup bagi saya menelan ini semua."

"Lalu apa rencanamu setelah bercerai?" tantang Ernaldi.

Savarina menatap suaminya dengan terkejut, tidak menyangka suaminya akan melanjutkan topik yang selama ini mereka hindari. "Saya akan mencari kerja. Saya punya titel dan punya pengalaman yang cukup."

"Usiamu sudah tidak muda lagi. Sulit bagimu untuk memperoleh pekerjaan."

"Ya, bagi orang yang tidak mengingat usia saya, saranmu cukup baik." Dilihatnya rahang suaminya mengeras. "Saya akan berusaha. Saya tahu ayah saya pasti tidak akan menerima saya lagi sebagai anak. Dan saya tidak ingin merepotkan kakak saya."

"Kamu akan kalah, Savarina. Hidupmu akan lebih menderita daripada saat ini. Orangtuamu tidak memedulikanmu. Kakakmu tidak punya kapasitas untuk menolongmu karena hidupnya pun ditolong ayahmu. Lalu kamu mau pergi ke mana?"

"Saya tidak jelek, kan?"

"Kamu berpikir untuk menikah lagi?"

"Tidak menutup kemungkinan. Saya percaya suatu hari nanti saya akan dipertemukan dengan orang yang benar-benar mencintai saya. Yang tidak melihat saya dari latar belakang keluarga saya atau uang keluarga saya."

"Saya tidak yakin akan ada laki-laki seperti itu. Ya, memang kamu tidak jelek, tapi saya yakin begitu mereka tahu siapa ayahmu, mereka pasti akan mengincar hartamu. Sayang sekali. Begitu kita bercerai, kamu tidak akan dapat apa-apa, Savarina."

"Kenapa begitu?"

"Karena itu yang saya pastikan sebelum kita menikah."

"Maksudmu?" Mata Savarina menyipit.

"Sekarang saya tidak yakin kamu lulusan NYU. Untuk ukuran NYU, kamu terlalu polos dan tidak punya pengalaman membaca situasi." Ernaldi tersenyum masam. "Sebaiknya kamu lupakan ide perceraian itu."

"Kenapa? Karena kamu masih ingin menginginkan anak dari saya?"

"Salah satunya, ya."

"Bagaimana jika saya ingin tetap bercerai?"

"Sebenarnya ada apa, Savarina? Apakah ada laki-laki lain?" Kini suaminya menatapnya tajam-tajam. Savarina tidak tahu apa yang akan dilakukan suaminya terhadap jawabannya. Tapi matanya begitu mengerikan.

Laki-laki lain.

Mungkin itu ide yang baik untuk pergi dari pernikahan ini.

"Ya," sahut Savarina pelan.

"Lelaki yang tadi sore?"

Dengan lemas Savarina mengangguk. Maafkan aku, Rio, harus membawa-bawamu ke pernikahanku! Tapi bukankah pahala bagimu karena kamu telah menolongku!

"Aku akan cari tahu siapa dia dan aku pastikan dia tidak akan ada lagi kehidupanmu. Lebih tepatnya, di kehidupan ini." Ernaldi hendak berdiri meninggalkan istrinya di sana, tapi lengannya dicekal.

"Jangan sakiti dia," pinta Savarina sungguh-sungguh. "Dia tidak tahu apa-apa tentang perasaan saya padanya! Maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk..." Tidak sempat menjelaskan lebih lanjut, tangan Ernaldi sudah mendarat keras di pipinya. Dirasakannya luka di bibirnya.

Luka di bibirnya tidak sesakit hatinya.

"Sebaiknya kamu tahu diri, Savarina! Saya bisa memperlakukanmu lebih buruk daripada ini! Apakah menurutmu saya senang menikah dengan perempuan sepertimu? Kamu pikir kamu sebaik itu sampai saya harus mengemis padamu untuk tetap menjadi istri saya? Percayalah, saya juga sama inginnya bercerai darimu! Kamu sudah merebut kebebasan saya hanya karena kamu kaya! Tidak ada yang lebih membuat saya bahagia selain anak di antara kita!"

Pria itu bergegas meninggalkannya begitu saja tanpa memedulikan darah di sudut bibirnya. Begitu Ernaldi masuk ke dalam rumah, Savarina menangis pelan sambil memegangi bibirnya. Tidak pernah sekali pun Ernaldi melakukan kekerasan terhadapnya. Tapi hari ini pria itu menunjukkan sifat aslinya.

Malam itu Ernaldi tidak ada di rumah. Savarina tahu sekali di mana ia berada. Pasti berada di dalam dekapan.. siapa? Adelia. Ya, pasti perempuan itu. Savarina tidak mau ambil pusing. Setelah mencuci muka serta luka di bibirnya, ia pergi ke ruang tamu. Ia tidak mau tidur di kamarnya. Ia tidak sudi melayani suaminya jika suatu waktu suaminya datang dan menyentuhnya!

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Where stories live. Discover now