EMPAT

53.2K 2.1K 472
                                    

Nyatanya, Ernaldi tidak dikenalkan pada teman-temannya.

Di jalan sambil menyetir Ernaldi memberitahunya bahwa ia ada urusan pekerjaan yang tidak bisa diabaikan. Ia menjelaskan panjang lebar-tidak detail-mengenai proyek barunya di Bogor. Yang Savarina tangkap suaminya akan membangun empat bangunan apartemen di sana. Karena jalanan macet, ia dan suaminya ngalor-kidul untuk memecahkan suasana. Terus terang Savarina tidak perlu penjelasan suaminya tentang lokasi proyek, desain, dan perencanaan pembangunan itu sendiri. Karena ia tahu, suaminya sama sekali tidak ada urusan pekerjaan!

Pasti bertemu dengan kekasihnya.

Suaminya terus bicara mengisi suasana, sementara pikirannya ke mana-mana. Kekasih suaminya cukup cantik. Tidak! Justru, sangat cantik. Bahkan dengan perasaan kesal Savarina harus mengakui kekasih suaminya mengingatkannya pada artis Nicole Kidman. Memiliki tubuh yang tinggi semampai, ramping, kulit yang porselen, yang membedakannya warna rambut perempuan itu hitam kelam sementara Nicole Kidman memiliki rambut pirang. Sementara Savarina? Tubuhnya sangat kurus, tinggi badannya juga tidak melebih seratus enam puluh centimeter. Matanya belo. Bibirnya tebal. Suaminya tidak pernah menghina maupun mencela bentuk tubuhnya. Bahkan cenderung tidak peduli dengan penampilannya. Karena yang terpenting bagi suaminya adalah keturunan bagi mereka berdua.

"Itu kafenya," sela Savarina sambil menunjuk sebuah kedai kopi di sebelah kiri jalan. Suaminya menghentikan mobil tepat di depan kedai itu. "Trims sudah mengantarkan. Kalau bisa dijemput juga boleh."

"Hmm..." Suaminya melirik arlojinya. "Kayaknya nggak sempat. Nanti telepon sopir saja ya."

"Oke," jawab Savarina, mengangkat bahu tidak peduli. Ia sudah tahu suaminya akan menjawab demikian. Kan sudah ada urusan sama kekasihnya? Ngapain repot-repot mengurusi istri yang tidak dicintainya? "See you soon!" Savarina turun dari mobil dan melambaikan tangannya dari kaca jendela.

Ia masuk ke kedai kopi dan langsung disambut riuh oleh teman-temannya. Rupanya kedai itu sudah disewa mereka. Savarina dapat mengatakannya karena hanya dia dan teman-temannya yang ada di sana. Lambang open pun dibalik menjadi close di pintu oleh pelayan. Wah, ternyata teman-temannya memang merindukannya!

"Glad to see you again, Riri!" Elisa, sahabat kuliahnya di NYU memeluknya begitu melihatnya. Setelah berpelukan dengan Elisa, enam teman lainnya memeluknya secara bergantian. Yang terakhir Rio, teman sejak masa kecilnya.

"You look more beautiful," bisik Rio dengan volume yang dikeraskan agar teman-teman yang lain mendengar. Ia satu-satunya lawan jenis di ruangan itu (tidak terhitung pekerja di kedai). "You're unbelieavably stunning."

"Hey, she's married," teman yang lain, Norma, mengingatkan dengan kedua mata yang melotot. "So tell us about your husband. Is he cute? Do we know him?"

"First thing first, I wanna thank you all for coming to this beloved city. I really appreciate that you've come all the way far from New York to Jakarta," Savarina membuka sambutan. "I can't express how happy I am to see you guys again. Here!"

Sambutan itu ditanggapi dengan seruan haru. "Well, my husband's name is Ernaldi Prawidjaja. And yes, he's handsome."

"What does he do?" tanya Susan.

"He works at his father's company," jawab Savarina tidak mau terkesan sombong. "Dia ingin sekali datang. Tapi ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."

"Today? At this Sunday?" Alis Rio menaik.

"Yes, today," sahut Savarina tegas.

Savarina menikmati pertemuannya dengan teman-temannya. Mereka menikmati kopi yang dihidangkan kedai itu. Savarina yang tadinya tidak bernapsu makan karena masalah di rumah, akhirnya menyerah ketika risotto ada di hadapannya. Ia dan teman-temannya saling bercerita. Saling bercanda. Saling mendukung satu sama lain.

Ah, rasanya sudah lama sekali Savarina tidak merasakan kebahagiaan semacam ini. Empat tahun menjadi istri Ernaldi ternyata melelahkan dan menyiksanya. Gerak-geriknya selalu diperhatikan-ralat-diawasi oleh suaminya dan pengawal-pengawal suaminya. Hanya hari ini, tidak ada suami dan pengawal sama sekali!

Begitu hari mulai gelap, kafe yang tadinya diisi ia dan teman-temannya, dibuka untuk umum. Teman-temannya mulai memeluknya lagi untuk berpamitan. Tersisa Rio yang mengantarkannya ke pintu depan. "Nunggu sopir?"

"Iya, Rio. Aku sudah memberitahunya melalui SMS. Pasti akan lama datang karena hujan," jawabnya.

"Aku rindu sekali kemacetan di Jakarta."

"Sombong sekali. Bagaimana pekerjaanmu di New York?"

"Aku sudah resign," sahut Rio. "Duduk di sana, yuk?" Ia merujuk pada kursi tempat pelanggan menunggu di dekat pintu. Mereka duduk bersebelahan di sana. "Aku dapat pekerjaan sebagai head manager di perusahaan e-commerce di Kemang."

"Apa nggak nyesel? Kerjaanmu sebagai konsultan keuangan kan pasti menguntungkan. Terlebih lagi bisa tinggal di Amerika."

"Ah, buat apa. Di sana kan jauh dari keluarga. Di sini aku bisa lebih dekat dengan ibuku. Sejak ayahku pergi, ibuku sendiri."

"Iya, aku tahu. Aku datang ke pemakamannya dua tahun lalu."

"Dan aku tidak bisa datang karena pekerjaanku," kata Rio dengan nada penyesalan. "Since then aku pengen bekerja di sini dan merawat ibuku."

"Tapi kamu akan meninggalkannya juga saat menikah."

"Aku belum terpikir sama sekali akan menikah dalam waktu dekat, Savarina. Jangan menatapku seperti itu! Aku masih normal!" Rio tertawa. "Banyak pengalaman dari orang dekat tentang pernikahan mereka yang tidak bahagia. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi."

"Sok tahu sekali."

"Bagaimana denganmu? Kamu buktinya menikah dengan Ernaldi Prawidjaja."

"Memangnya suamiku kenapa?"

"Everyone knows his records, Savarina. Kalau aku tahu kamu akan menikah dengannya, aku akan memperingatkanmu."

"Kenapa?"

"Karena dia tidak mencintaimu seperti aku."

"Duh, gombalan itu lagi," Savarina tertawa kencang, diikuti Rio. "Kita sudah lama banget berteman. Kamu selalu menggodaku. Tapi tidak pernah memintaku untuk jadi kekasihmu sekali pun. Sekarang ngomong cinta! Kamu kira aku akan percaya?"

"Karena kamu sudah menikah, aku kira tidak ada salahnya untuk mengatakannya," sahut Rio bergurau. "Aku merindukanmu, Savarina. Aku sedih sekali kamu tidak mengundangku ke pernikahanmu."

"Dan tidak membiarkanmu memperingatkanku?"

Rio tersenyum masam. "Aku harap kamu bahagia dengan suamimu, Savarina. Karena kalau tidak, aku tidak akan membiarkannya ada lagi di dunia ini."

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku sangat mencintai suamiku."

"Apakah suamimu mencintaimu?"

"Tanyakan saja sendiri," tantang Savarina tidak sungguh-sungguh. Ponsel di purse-nya bergetar. Ia membuka dan terdapat SMS. Ia berdiri. "Ternyata suamiku yang menjemputku. Sudah dulu ya. Nanti kalau ada meet up ajak aku lagi, oke?"

"Sip! See you, babe!"

Rio ikut bangkit dari tempat duduk dan memeluk Savarina layaknya sahabat. Setelah cipika-cipiki, Savarina menghampiri mobil suaminya yang sudah terparkir persis di depan kedai. Dahi Savarina mengerut. Sudah berapa lama mobil suaminya di sana? Savarina tidak menyadarinya saking asyiknya mengobrol dengan Rio. Dan selain itu ia juga mengira bukan suaminya yang menjemputnya.

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Where stories live. Discover now