"Deaktifkan semua akun media sosialmu," ujar Devon yang sepertinya mengetahui apa yang sedang terjadi. "Hey, kau baik-baik saja?" tanyanya saat melihat Ivy tak menjawab, melainkan menyembunyikan wajahnya di balik lututnya. Ivy menggeleng, belum mengangkat wajahnya.

Devon ikut duduk di sebelah Ivy kemudian menarik kepala Ivy agar bersandar di bahunya. "Kita pulang saja ya."

Ivy membisu kemudian membenamkan wajahnya di lengan Devon. Akhirnya mereka berdua duduk di sana selama dua jam tanpa bicara sebelum Devon mengajaknya pulang untuk yang kedua kalinya.

* * *

Banyak remaja putri memiliki mimpi untuk memacari idola mereka. Beberapa malah ada yang hidup dalam mimpi itu hingga mereka dewasa. Tapi Ivy berbeda. Mimpinya adalah untuk tetap bermain basket. Tapi entah kenapa semesta memberinya jalan untuk bertemu seorang Caden.

Ivy tak mengerti, dari semua cewek yang menggandrunginya, kenapa Caden malah memilih Ivy? Ivy bahkan tak tahu caranya mengepang rambutnya dengan rapi, lebih sering membuat makanannya gosong daripada matang, dan sering menjatuhkan barang-barang yang ia pegang di mana pun ia berada (ia pernah menumpahkan secangkir kopi di gaun yang sedang dicoba oleh klien ibunya). Entah apa yang Caden lihat menarik darinya dan harusnya Ivy curiga dari awal kalau hubungan mereka tidak akan mudah.

Pergi sembunyi-sembunyi, menyamar, mencari tempat kencan yang tidak banyak diketahui orang, awalnya Ivy senang-senang saja menjalaninya. Semua itu adalah hal yang baru baginya dan ia tak punya masalah dengan permintaan Caden itu. Lagipula yang terpenting adalah sikap Caden yang romantis dan berusaha menunjukkan rasa sayangnya pada Ivy tiap kali mereka berkencan—walaupun pernah hanya tiga menit.

"Tiga menit? Kau berkencan atau merebus mie instan?"

Sindiran Devon itu mulai membuat Ivy mempertanyakan dirinya sendiri hubungan macam apa yang sudah ia setujui ini? Ivy terlalu larut pada kegigihan Caden untuk berusaha menemuinya (dan menciumnya) sebelum ia berangkat ke bandara untuk turnya, sampa-sampai ia lupa kalau tidak ada 'pacaran' yang sesingkat itu.

Tadi pagi ia hampir pingsan karena melarikan diri dari kejaran wartawan sampai-sampai membuat Devon harus ikut membolos juga untuk mengantarnya pulang. Apa yang sebenarnya yang ia lakukan?

Apa yang sebenarnya mereka lakukan?

Ivy ingin menanyakannya pada Caden yang kini duduk di sofa rumahnya, tapi wajah Caden yang panik dan penuh perasaan bersalah membuat Ivy kembali menelan pertanyaan itu. Caden benar-benar mengkhawatirkannya dan Ivy tahu semua ini bukan salahnya.

"Ivy, maafkan aku," ucap Caden untuk yang kelima kalinya. Tangannya masih menggenggam tangan Ivy dengan erat. "Aku seharusnya lebih berhati-hati saat mengajakmu."

"Nggak apa-apa, Caden. Bukan salahmu. Tapi kenapa sekarang? Maksudku, orang-orang sering melihat kita di Coffee Pit sebelumnya."

Caden terdiam berpikir sejenak, kemudian ia bergumam, "Mungkin..."

"Mungkin?"

Caden terlihat agak gelisah sebelum menjelaskan apa maksudnya, "Beberapa hari yang lalu aku menolak pergi dengan Shae."

"Shae? Shae Williams?" Ivy membelalak. Shae adalah artis cantik papan atas yang mendapat banyak nominasi penghargaan karena perannya di berbagai film layar lebar.

Caden mengangguk. "Dulu kami berpacaran, tapi aku memutuskan hubungan itu. Aku merasa Shae hanya menjadikanku sebagai pemanis citranya. Kemarin dia memintaku sebagai pasangannya ke Sullivan Award, tapi aku menolak. Aku bilang aku nggak ingin membuat pernyataan apapun dengannya. Lalu—" Caden menatap Ivy dengan sendu, "aku menyebut namamu. Mungkin dia kesal dan marah. Aku nggak tahu, tapi yang jelas nggak ada yang boleh menolak keinginannya. Maksudku, dia seorang Shae Williams. Aku benar-benar minta maaf, Ivy."

Ivy tersenyum. Entah bagaimana Ivy menemukan senyumnya lagi. Caden selalu berhasil membuatnya tersenyum lagi. "Terima kasih karena sudah memilih hubungan kita di hadapannya."

"Oh, Ivy. Aku adalah laki-laki paling beruntung di dunia ini karena mendapatkanmu," ucapnya sambil tersenyum menatap dalam ke kedua mata Ivy. Caden mendekatkan wajahnya lalu mencium bibir Ivy.

"Untuk melindungimu, manajerku menyarankanku untuk menyangkal hubungan ini di depan pers. Aku akan bilang kalau foto itu adalah rekayasa. Aku mohon kau mengerti, walaupun aku berkata seperti itu di depan pers, tapi kenyataannya aku sangat mencintaimu, Ivy."

Ivy mengangguk.

Ivy menyaksikan Caden benar-benar memberikan pernyataan itu di TV keesokan harinya. Ivy tahu Caden hanya ingin melindunginya, tapi entah mengapa ada rasa sakit yang Ivy rasakan saat menyaksikan Caden mengatakan hal itu. Teman-teman basketnya langsung menyerbunya dengan pertanyaan, lalu perasaan simpati. Ivy tak ingin berkata apa, maka ia tak membalas satu pun pesan mereka. Ivy hanya meringkuk di depan TV, berharap bisa membuatnya tertidur. Dan ia memang tertidur.

Tapi besok paginya ia terbangun di atas ranjangnya sendiri. Entahlah. Mungkin ia jalan sambil tidur.

ReboundWhere stories live. Discover now