Bab 1

10.3K 432 19
                                    

Ivy membuka laci kecil di dashboard mobil itu untuk mencari koin-koin yang bisa ia tumpuk lagi, tapi tak bisa menemukan satu pun. Ia merogoh dompetnya sendiri, tak juga bisa menemukannya. Ia mengerang kesal dan menumbangkan menara koin yang telah ia susun. Koin-koin berserakan ke seluruh penjuru mobil, tapi ia tak peduli. Toh dari tadi ia membangun menara-menara itu memang untuk ditumbangkannya sendiri agar bisa dibangun lagi.

Ivy kelewat bosan. Bosan yang ia rasakan telah terakumulasi menjadi rasa kesal dan sebentar lagi rasa kesal itu akan menjadi kemarahan apabila ia dibiarkan menunggu 10 menit lagi saja. Ia telah berulang kali menengok ke arah gedung sekolah itu menunggu kemunculan sosok yang dicarinya, tapi kali ini ia berhenti. Ia memperhatikan sekolah itu dengan lebih seksama. Lapangan parkir itu menghadap ke arah gedung utama; sebuah gedung berdimensi horizontal yang membosankan. Siapapun yang membangun gedung itu pastilah terlalu malas untuk berpikir. Tinggal tempel lambang sekolah di tengahnya dan jendela-jendela di sisi sisanya. 

SMA Auguste. Ivy tak pernah menyukai sekolah ini. Bukan. Bukan karena kekalahan tim putra sekolah Ivy saat pertandingan yang dibuat sesuka hati oleh Diana waktu itu. Kalau itu sih Ivy tahu tim putra sekolahnya memang tidak bisa diharapkan. Tapi pada dasarnya Ivy memang membenci karakter sekolahnya sendiri. Dari lapangan parkir saja Ivy bisa merasakan dinginnya dinding sekolah itu. Bagi Ivy, sekolah ini hanyalah sebuah sekolah elit yang dipenuhi siswa-siswi yang congkak. Tidak lebih.

Ia tidak peduli dengan reputasi lainnya, selain sekolah ini memiliki tim basket yang sangat kuat. Sayangnya reputasi itulah yang membuatnya terjebak di parkiran SMA Auguste sekarang. Bahkan sebelum berangkat, ia harus adu mulut dengan Rafael—ketua klub basketnya—dan membuat mereka menjadi tontonan di kantin.

"Cuma mengantar surat undangan?! Kirim pos saja kenapa sih!" teriak Ivy tadi pagi saat ia menghambur masuk ke kantin dan menyerbu meja Rafael. Tak lupa Ivy menarik piring makan Rafael yang berisi fish n chips dan menahannya. Dengan muka frustasi, Rafael akhirnya menjawab, "Mereka akan tersinggung kalau kita cuma kirim via pos. Jangan bikin Allegia malu lagi dong. Kalah dari mereka 75-10 dari pertandingan waktu ini aja sudah cukup malu-maluin."

"Trus, coba bilang kenapa harus aku yang antar?" tanya Ivy. Nada bicaranya melunak karena rasa bersalah yang menyelimutinya setelah kekalahan mutlak yang tim putra sekolahnya alami dari SMA Auguste beberapa minggu yang lalu. Setelah kekalahan itu, tak satu pun dari mereka yang bisa tersenyum. Terlebih lagi saking payahnya mereka sebagai lawan, kapten SMA Allegia sampai naik pitam dan membanting bola basketnya seusai pertandingan.

Saking payahnya mereka.

"Semua anak kelas dua belas ada ujian serentak."

Ivy memutar mata. Sengaja. Rafael pasti sengaja menyamakan jadwal pengantaran undangan dengan jadwal ujian mereka.

"Cecil? Eva? Keira? Dean?"

"Cecil ada ujian susulan. Dean sakit, nggak masuk hari ini. Keira kuminta menemui sponsor. Eva...kurasa dia bilang dia ada percobaan Biologi yang nggak mau dia lewatkan."

Ivy rasanya mau muntah mendengar alasan Eva. Pelajaran Biologi mereka nanti adalah bedah katak dan nggak ada makhluk yang Eva paling takuti di dunia ini selain katak. Anak itu jelas-jelas merajuk untuk mengajaknya membolos di telepon semalam.

"Aku nggak mau sendirian ke sana. Maksudku, ayolah. Siapa yang mau sendirian ke sana!" Ivy menarik satu kentang goreng dari piring Rafael dan menggigitnya. Kentang itu sudah layu sampai membuat Ivy melempar potongan sisanya ke tempat sampah.

"Begini saja, kau ajak Rico." Setelah menyodorkan satu nama anak kelas sepuluh, Rafael nyengir memperlihatkan senyum kemenangannya. Senyum itu seakan-akan berkata kalau Ivy tidak mungkin menang melawan argument Rafael siang itu. Rafael pasti sudah menyusun seribu alasan agar Ivy tetap ke Auguste.

ReboundWhere stories live. Discover now