Bab 16

4.7K 314 17
                                    

Ivy tak bisa menyangkal kalau ia merindukan bau kopi dan bunyi blender di hari-hari libur kerjanya. Sepertinya terlalu lama bekerja di sana membuat Ivy berhalusinasi kalau bekerja di sana bisa membuat dirinya bahagia. Padahal nyatanya setiap hari bekerja di sana tak lebih dari menjadi tawanan seorang Devon Reyes. Kedai kopi itu adalah bukti nyata 'kerajaan' seorang Devon Reyes di mana tak ada seorang pun yang berani menentang apa katanya.

Dan kerajaannya yang ke dua adalah klub basket Allegia. Tapi bedanya, di klub basket ini, Ivy masih menjadi seorang 'perdana menteri'.

"Mereka jauh lebih baik," gumam Ivy saat berdiri di sebelah Devon, memperhatikan tim basket putra mereka bertanding sparing melawan SMA Sandhill. Kecepatan, teknik, semua skill mereka meningkat pesat dalam jangka waktu yang singkat. Walaupun belum bisa menyaingi Auguste (yang bahkan tanpa Devon), paling tidak Ivy sudah tidak malu lagi menyaksikan mereka bertanding.

"Kau memujiku?"

Ivy memutar bola matanya mendengar pertanyaan Devon yang terlontar dengan senyum miring angkuhnya. Ya Tuhan, kenapa cowok itu menyebalkan sekali sih? Akhirnya Ivy memilih untuk meninggalkan cowok itu sebelum ia sampai menonjok wajahnya.

"Permainan yang bagus," Devon memuji timnya setelah mereka berhasil memenangkan pertandingan itu walaupun dengan selisih yang cukup tipis. Ivy lagi-lagi memutar bola matanya. Cowok itu memang niatnya cuma memuji pekerjaannya sendiri saja. Coba kalau tim putri yang main, Ivy pasti dicela habis-habisan karena menang melawan tim menengah cuma dengan margin setipis itu.

Bagaimana pun baik Devon, Ivy, maupun semua tim putri Allegia mengapresiasi tim putra mereka yang berkembang sepesat itu. Kalau dulu, membuat mereka semua hadir setiap latihan saja rasanya mustahil.

"Kalau perkembangan kalian terus sepesat ini, kita bisa ikut kejuaraan nasional."

Seisi lingkaran terdiam. Mereka hanya saling lirik, termasuk tim putri.

"Ada apa?" tanya Devon saat menyadari keheningan itu.

"Umm, begini..." Rafael akhirnya angkat bicara. "Melawan tim putri kita sendiri saja kita nggak akan menang. Apalagi bertanding di nasional."

Devon menatap semua orang di lingkaran itu dengan rahang yang berkedut beberapa kali. Mereka semua menahan napas dengan wajah tegang menunggu-nunggu kata-kata menyakitkan apa yang akan meluncur dari mulutnya.

Dengan mengejutkan, Devon hanya menghela napas dan berkata, "Aku berjanji akan membawa kalian sampai kejuaraan nasional. Fokuslah untuk terus jadi yang lebih baik. Dan untuk tim putri—" Walaupun ia mengatakan 'tim putri' tapi tatapannya menancap hanya pada Ivy, "awas saja kalau kalah di penyisihan."

"Setan," ujar Ivy saat menangkap kilatan jahat di mata cowok itu. Ivy berujar cukup keras untuk didengar semua orang. Beberapa orang tertawa, tapi lebih banyak lagi cepat-cepat melerai mereka berdua yang sudah berdiri saling tatap—siap-siap memangsa satu sama lain. Setelah latihan hari itu, Ivy positif memindahkan predikat 'iblis' dari Rafael ke Devon.

"Menurutmu kita perlu memanggil pelatih lain yang lebih manusiawi dan nggak berat sebelah?" tanya Ivy pada teman-teman tim putrinya saat bubar latihan.

"Memangnya kita punya uang?" tanya Cecil.

Ah sial. Benar juga. Ivy tidak akan mau kalau jadinya harus bekerja di Coffee Pit sampai tamat cuma gara-gara itu.

"Ivy."

Ivy terdiam mendengar namanya dipanggil oleh suara yang tidak ia dengar sepanjang hari itu. Karena ia menghentikan langkahnya, teman-temannya juga ikut berhenti untuk menoleh.

"A—apa yang kau lakukan di sini?" Ivy membelalak melihat Caden melepas tudung jaketnya dan tersenyum padanya. Ternyata orang mencurigakan yang hampir dilaporkan oleh Keira ke sekuriti sekolah adalah Caden. Duduk diam di pojok dengan jaket hitam bertudung seperti itu memang terlihat agak menyeramkan.

ReboundWhere stories live. Discover now