Perlahan Alden mundur, dua tangannya terangkat. Alden masih cukup waras, ia tidak akan langsung menyerahkan nyawanya hanya karena ini.

"Biarkan dia pergi, atau kamu mati."

Jumlah orang yang melindungi si saksi ada tiga orang, sedangkan ia hanya sendiri. Alden berpikir keras, mampukah ia menghabisi semuanya? Menurut logika tidak, tapi hatinya berkata lain. Selama ia masih punya kemampuan, mari kita hajar. Ia mulai memikirkan strategi bagaimana cara agar bisa melawan.

Dengan menggunakan siku dan memberikan gerakan menyikut, ia berhasil membuat salah satu penjahat mundur beberapa langkah setelah mendapat pukulan di bagian dada. Yang lain langsung menyerang Alden.

Perkelahian pun tidak bisa dihindari.  Tiga lawan satu. Berkelahi bukan hal asing lagi bagi Alden, baginya melawan tiga orang masih dikategorikan mudah. Dua orang sudah tumbang, giliran satu orang lagi yang kini sedang berusaha Alden habisi. Sayangnya, salah seorang berhasil bangkit lagi dan memanfaatkan kesempatan Alden yang sedang sibuk menghajar temannya dengan mengambil pisau yang tadi jatuh.

Sebuah kaki menangkis tangan hingga pisau kembali terlempar. Alden berbalik. Ia melihat dua orang sedang berkelahi.

Raihan.

Alden kembali menonjoki wajah lawannya secara terus-menerus.

Kali ini dua lawan tiga.

Sepertinya ilmu bela diri yang Raihan miliki cukup mumpuni, ketiganya tumbang.

Merasa tak akan mampu melawan lagi, mereka langsung naik ke motor dan kabur. Meninggalkan bekas luka di sudut bibir Alden dan bagian lainnya.

Alden menyadari bahwa saksinya sudah tidak ada. Sia-sia sudah. Tersisa hanya mobil dirinya saja. Lekas pria itu mengumpat, menendang ban mobilnya.

"Udah, Pak, saksinya udah kabur. Pak Alden lihat tadi? Bapak hampir aja celaka."

"Tapi dia saksi satu-satunya, Han!"

"Yang penting Pak Alden sudah berusaha. Allah lihat kok usaha Bapak. Kalau hasilnya harus begini, kita bisa apa?"

Alden mengembuskan napas. Jika dulu ia berambisi memecah kasus atau membuktikan ketidakbersalahan klien adalah demi karirnya sendiri, sekarang berbeda. Rasa empati terhadap terdakwa lebih besar dan mendominasi.

Melihat Raihan mengingatkan Alden pada Reyhan. Sifat mereka tidak beda jauh. Alden seperti mendapatkan gantinya.

"Makasih kamu udah bantu saya."

"Saya cuma perantara yang Allah kirim untuk bantu Pak Alden, mungkin." Lelaki itu mengedikkan bahu. "Pak Alden nggak pa-pa? Apa mau ke rumah sakit?"

Lelaki itu malah tersenyum kecut. Ke rumah sakit hanya untuk luka kecil seperti ini bukanlah kebiasaannya.

Langit mendung, rintik-rintik hujan mulai jatuh ke bumi. Alden mendongak, memprediksi bahwa hujan akan turun deras.

"Kamu tadi naik apa?" tanya Alden kepada Raihan. Ia tidak melihat kendaraan apa pun selain mobil miliknya.

"Ojol, Pak. Tadi supirnya langsung pergi."

"Ya udah, saya antar kamu pulang."

"Boleh, Pak?"

"Ya boleh, lah."

"

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
HEART BEAT √Onde histórias criam vida. Descubra agora