3. Jangan Sering-Sering Makan Makanan Instan

90 5 0
                                    


Manusia bukan makhluk yang bisa puas. Itulah alasan mengapa indomi satu rasanya kurang tapi dua kebanyakan. Sesungguhnya yang bisa membeli kepuasan manusia hanyalah rasa syukur.

Setelah makan malam di ruang makan asrama, Adit dan Danu kembali ke kamar mereka. Sambil membuka pintu kamar, Adit berkata, "Makanan asrama, makin ke sini makin gak layak. Ya gak sih nu? Kayak makin dikit dan makin gak enak gitu. Kapan gemuknya aku kalo aku makan begituan terus?"

"Bersyukur atuh dit! Masih untung kamu bisa makan."

"Ya tapi ini nasinya banyak yang gak matang."

Danu memukul kepala Adit. "Dit! Masih untung kamu masih bisa makan nasi! Ada banyak orang di luar sana yang jarang-jarang makan nasi."

Adit melipat tangannya lalu mendengarkan dengan seksama. Danu melanjutkan, "Orang Amerika bahkan orang-orang jarang yang makan nasi."

"Apaan coba?" Adit kecewa mendengar argument Danu yang lemah. Ia melepaskan lipatan tangannya, lalu naik ke kasurnya. "Ya iyalah! Orang sana emang makanan pokoknya bukan nasi nu!"

Danu mengintip dari samping kasur, "Terus mereka makan apaan?"

"Ya aku nggak tahu nu! Lha wong aku bukan orang sana." Adit menyandarkan diri ke tembok sambil membuka buku catatannya. Adit hendak mengerjakan tugas kuliahnya.

Danu duduk di kasurnya sambil menggumam, "Iyalah! Orang Amerika teh gak ada yang medhok atuh dit!" Danu juga akhirnya melakukan hal yang sama seperti Adit yaitu membuka catatannya dan hendak mengerjakan tugas kuliah. Beberapa saat setelah mereka membalik-balikkan bukunya masing-masing, Danu berkata pada Adit, "Dit. Tapi bener kata lu. Masih laper gua."

Adit mengintip dari kasurnya, "Kamu mau energen gak? Kalo mau, ambil aja di lemari."

"Lemari siapa?" Tanya Danu.

"Ya lemariku lah nu!" Timpal Adit.

Danu melangkah ke deretan lemari. Ada empat lemari berbentuk balok dengan satu pintu. Masing-masing lemari adalah milik seorang dari penghuni kamar itu. Kamar 106 itu dihuni oleh dua orang lain selain Adit dan Danu. "Ya siapa tau lu mau menjebak gua buat melakukan pencurian." Kata Danu sambil membuka lemari Adit.

"Kriminalitasmu di sini bukan pencurian nu. Lebih parah. Pembodohan!"

Danu akhirnya mendapatkan energen yang ia cari. Adit bertanya, "Butuh gelas nu? Aku punya di...." Kata-kata Adit terhenti saat ia melihat apa yang dilakukan Danu. Danu rupanya sudah membuka bungkus energen tersebut dan memasukkan serbuknya langsung ke mulut. Adit berkata, "Diseduh dulu nu! Jangan bodoh gitu lah nu!"

Danu tersinggung. Ia menaiki kasur Adit lalu berkata, "Gua gak bodoh, dit!"

Adit menjawab, "Di mana-mana orang bikin energen, diseduh dulu nu. Diminum!"

"Nah itu aja udah salah!"

"Apaan?"

"Lu bilang 'di mana-mana' kan? Lu baru aja liat. Di tempat ini! Di sini! Ada yang makan energennya gak begitu. Gua!"

Adit masih berusaha mempertahankan argumennya, "Tapi iklannya aja 'minum makanan bergizi'. Ya artinya dia aturannya emang harusnya diminum nu. Bukan dimakan kayak cara anak TK gitu!"

Danu membuat ekspresi bingung, "Lah? Sejak kapan itu jadi aturan? Emang kalo gua makan energen gak diseduh, gua bakal di-DO dari kampus? Enggak kan?"

Adit menjawab pelan, "Ya enggak sih."

"Ya udah!" Timpal Danu. "Lagian buat menikmati hidup, kita emang harus melanggar beberapa peraturan, atau minimal berjalan di atas garis norma dan wilayah abu-abu."

"Ngomong apa sih nu?" Adit menggerakkan badannya sedikit menjauh dari Danu.

Danu menggerakkan badannya sedikit mendekat pada Adit, "Dengerin dulu dit! Lu liat iklan energen dari mana?"

"TV."

Danu menggelengkan kepalanya, "Hidup jangan mau dikendalikan sama TV dit. TV udah banyak dibeli buat kepentingan politik. Lu harus bisa menetapkan keputusan hidupmu sendiri. jangan biarkan TV memerintah lu tentang gimana ngejalanin hidup lu."

Adit menggaruk kepalanya, "Aku udah gak ngerti lagi lah nu sama kamu."

Danu kembali memasukkan serbuk energen ke mulutnya. Setelah menelannya, Danu berkata lagi, "Terakhir. Gimana caranya kita menyeduh energen?"

Adit bahagia, akhirnya Danu mau mengikuti cara normal, "Nah. Harusnya itu serbuk energen dikasih air, terus diminum nu."

Danu tersenyum sinis. "Tubuh kita ini terbentuk dari air. Kalo gua masukin gini aja, ntar di perut juga bakal kecampur sama cairan tubuh. Jadi energen. Bedanya, orang lain nyampurnya di gelas, gua langsung di perut."

Karena habis, Danu turun dari kasur Adit dan membuang plastik energen di tangannya ke tempat sampah. Danu melanjutkan sambil ia kembali ke kasur Adir, "Orang lain harus ngotorin gelas dulu, gua kagak. Tinggal buang plastiknya." Ia kini duduk di sebelah Adit, "Lu tau gak sih? Limbah cuci piring itu berbahaya buat lingkungan. Bikin global warming!"

Adit memegangi dahinya lalu bertanya, "Kenapa sih nu, setiap kali aku ngomong sama kamu, jadinya aku yang salah."

Danu, "Ya emang lu salah dit. Gua berusaha ngasih tau lu benernya gimana, elu nya ngeyel. Gua mah capek digituin terus. Tapi ya gimana lagi, elu temen gua, ya gua sabar."

Adit menggumam sendiri, "Duh Gusti Pangeran, paringono sabar."

Danu turun dari kasur Adit, "Udah ah dit! Gara-gara lu, gua jadi gak kerja tugas nih!"

Adit hanya bisa mengelus dada. Adit dan Danu mulai menyalakan laptop mereka, lalu mulai mengetik tugas mereka. Beberapa menit kemudian Danu memanggil Adit, "Dit?"

"Apa lagi sih nu?"

"Masih laper nih."

"Aku juga sih nu."

"Cari makan yuk."

"Harus sekarang banget?"

"Gak konsen kerja tugas gua kalo laper gini!"

"Gak punya duit aku nu."

"Beli mi goreng aja kita. Yang murah-murah."

Setelah beberapa detik berpikir, Adit menjawab, "Iya udah deh. Ayo."

Adit turun dari kasurnya. Mereka berdua berjalan ke arah pintu kamar. Danu berkata, "Tapi gua gak mau nyuci piring."

Adit menjawab, "Ya udah. Beli yang di cup aja. Jangan yang indomi biasa."

"Nah. Akhirnya lu setuju sama filosofiku."

"Ya kalo mi, ada yang gitu nu. Emang ada yang tempat yang dari stereofoam ato apalah itu. Kalo energen....."

Suara mereka tidak terdengar lagi setelah Adit menutup pintu kamar.



Di laptop Adit, terbuka jendela tugas menulis artikel ilmiah. Adit sudah menuliskan judul artikel tersebut: Bahaya Penggunaan Stereofoam pada Kemasan Makanan.

Perspektif KontraproduktifWhere stories live. Discover now