"Di... Ada banyak hal yang belum kami ceritakan tentang kami, menurut versi kami, dari sisi yang kami rasakan. Apa kamu bersedia mendengarnya, Di?" Tanya Tante Ai.

"Untuk itulah saya datang ke sini, Tante."

Tante Ai menarik napas panjang.

"Tante dan Papimu dulu adalah teman SMA, kami dulu pernah dekat, yaa pacaran lah istilahnya. Mami kamu pun tahu, karena kami satu angkatan. Tapi setelah lulus, kami kuliah di kota yang berbeda, kami putus komunikasi sejak saat itu walau kami masih saling sayang, tapi keadaan jaman dahulu sulit sekali menjalin komunikasi dengan baik. Jadi kami memutuskan untuk tidak lagi bersama. Kemudian akhirnya Papimu menikah dengan Mamimu, dan Tante menikah dengan senior Tante di kampus dulu."

"Tante bercerai atau suami Tante meninggal?" Tanyaku.

"Tante memilih untuk bercerai karena Tante tidak bisa memiliki keturunan. Tante tidak mau mantan suami Tante menghabiskan waktu dengan wanita yang tak bisa memberi dia keturunan, saat itu kami sudah lima tahun lebih menikah. Dia mengajukan pilihan lain, poligami. Tante tidak mau, Tante tidak akan kuat berbagi suami dengan wanita lain, walaupun katanya kalau ikhlas surga balasannya, tapi Tante tidak yakin dengan diri Tante sendiri, biarlah Tante menggapai surga dengan cara lain."

"Tante menikah lagi setelah itu?" Tanya Hadi.

"Tidak hingga Tante kembali bertemu Papimu. Setelah bercerai, Tante memutuskan untuk membuka restoran kecil yang Alhamdulillah sekarang sudah cukup besar dan restoran itulah yang mempertemukan kami kembali."

"Di, Papi dan Ai tidak berselingkuh seperti yang dituduhkan Mamimu. Saat itu, Papi bertemu dengan pengacara Papi di restoran Ai. Papi tidak tahu itu restoran dia hingga Papi bayar di kasir dan dia di sana. Kami yaaa... ngobrol sebentar, tukar nomer telpon, itu saja. Saat itu gugatan Papi sudah masuk ke pengadilan. Setelah hampir resmi bercerai, tinggal pembacaan ikrar talak saja, Papi memutuskan untuk membeli rumah di daerah sini. Yaa karena Papi pikir Ai sudah lama di sini, Papi hubungi Ai kembali minta tolong dicarikan rumah. Saat kami bertemu dengan penjual rumahnya, entah darimana Mami kamu menemui kami, seolah kami pasangan selingkuh. Padahal itu kali ketiga kami bertemu, Papi gak habis pikir kenapa bisa langsung tuduh begitu."

"Lalu kenapa akhirnya bisa menikah?" Cecar Hadi.

"Awalnya kami memang hanya berteman, kami tak peduli Mamimu mau menuduh apa, karena kenyataannya setelah saat itu Papi sudah resmi bercerai dan pertemuan kami pun sebatas jual beli rumah saja karena si penjual rumah ini teman Ai. Akhirnya, Papi menyadari bahwa Papi butuh teman berbagi cerita setiap hari mengingat usia Papi juga sudah tidak muda, Papi hanya ingin ada teman ngobrol. Sesuatu yang tidak bisa Papi lakukan dengan Mamimu dulu. Mami hanya mau bicara tanpa mau mendengar. Jadi Papi meminta Ai untuk menjadi istri Papi, walau resikonya ya kalian semakin salah paham. Tapi Papi yakin lama-lama kalian pasti mengerti dan tau yang sebenarnya."

"Hhhh... harusnya kalian cerita ini dari dulu, Pi... Hadi kan jadi gak perlu ikutan benci Tante Ai.. Sekarang Hadi mengerti semuanya. Maafin Hadi ya Pi.. Tante Ai.."


"Di... Tante Ai gak ngerasa Hadi salah kok. Memang situasinya yang sulit, sebagai anak, tentu Hadi gak rela Papi sama Mami pisah, apalagi karena ada isu orang ketiga. Tapi, percayalah, Di. Papimu itu orang baik, dia tidak pernah menghianati Mamimu. Perceraian itu memang karena masalah antara mereka berdua. Sekali lagi, bukan Tante membela diri tapi memang kenyataannya begitu."

"Hadi mengerti dan Hadi sekarang malah jujur aja ya, senang Papi bercerai dari Mami."

"Kenapa?" Tanyaku heran.

"Papi kelihatan lebih bahagia dan sehat lahir bathin. Hadi juga dengar dari Adya kalau Papi jadi belajar agama lebih dalam, Hadi ngerasa bahagia dengarnya. Makanya Hadi ngerasa gak mungkin kalau Tante Ai seburuk yang Mami bilang dan Hadi harus lihat sendiri. Dan yaa terbukti. Tante Ai sama sekali berbeda dari yang Mami bilang."

"Di.. Tante yakin Mamimu itu hanya emosi saat bilang Tante begini lah..begitu lah.. yang penting sekarang Hadi dan Rani sudah tau kan yang sebenarnya. Mungkin Rani  nanti bisa pelan-pelan jelaskan ke Angga juga." Ujar Tante Ai.

"Iya.. Tante, boleh gak kalau Rani panggil Bunda juga seperti Adya?" Tanyaku.

"Hadi juga..."sambar Hadi.

"MasyaAlloh.. Bolehlaaah!!! Kalian itu kan anakku jugaaa..."

"Makasih ya.. umm..Bunda... Aduh.. masih kaku ya, tapi gak apa-apa.. kan namanya juga baru. Iya gak, Pi?" Kataku meminta persetujuan Papi.

"Hahaha.. Iya.. Eh, ngomong-ngomong, Angga apa kabar, Ran?"

Belum sempat aku menjawab, Hadi sudah lebih dulu menjawabnya.

"Haduuh...Makin parah, Pi. Papi masih ingat Nevita? Masa sekarang Mas Angga dekat sama Vita lagi, Pi. Gara-gara Mami yang ngedeketin lagi."

"Astaghfirullah.. Benar itu, Ran?"

"I..iya, Pi. Tadinya Rani gak mau cerita ke Papi tapi Hadi udah bocorin duluan."

"Benar-benar si Angga itu, keterlaluan!"

"Mas Angga cuma menurutin keinginan Mami, Pi. Rani juga gak tau kedepannya bagaimana, tapi Rani berharap akan baik-baik saja, Pi."

"Kamu yang sabar ya, Ran. Tante..eh..Bunda yakin Alloh pasti kasih jalan terbaik untuk kalian."

Rasanya hatiku jauh lebih lega karena aku sudah berbagi cerita dengan Papi dan Bunda. Setidaknya, jika sesuatu yang buruk terjadi, mereka tau itu bukan salahku. Tapi aku masih berharap banyak pada Mas Angga.

ForgivenWhere stories live. Discover now