Chapter 17

13.6K 905 26
                                    

"Tentang kita!"

"Kita? Maksudnya?" Aku mengerutkan keningku. Gudeg yang sangat enak ini terasa seperti biji kedondong di tenggorokkanku setelah mendengar kata-kata Heru.

"Iya, saya tidak keberatan kalau memang seandainya kita menjalani hubungan seperti yang Ibu harapkan. Bukan semata hanya ingin Ibu bahagia, tapi saya rasa, saya cukup tau kamu. Saya tau kamu wanita yang baik dan saya ingin menjalani hari-hari saya bersama seseorang yang baik." Heru menatapku serius. Aku baru sadar ternyata dia punya mata yang bagus.

"Sudah lama tidak ketemu, baru ketemu lagi dua minggu lalu, bagaimana mungkin kamu seyakin itu saya masih sebaik imajinasi kamu?"

"Karena saya tau dari dulu kamu tidak pernah berpura-pura dalam hidup. Jujur, saat SMA dulu saya sempat naksir kamu, tapi saya merasa belum pantas."

"Jadi sekarang sudah pantas?"

"Saya merasa sudah punya cukup modal untuk bisa mengajukan proposal menjadi pendamping hidup kamu secara finansial dan materi lainnya. Saya rasa itu penting, dulu saya masih mengandalkan harta orang tua, sekarang saya punya usaha sendiri, jadi saya cukup percaya diri."

Ini merupakan nilai tersendiri bagiku. Pria yang mencoba memantaskan diri sebelum mendekati wanita merupakan hal yang menarik bagiku. Satu lagi, percaya diri, walau kalau terlalu percaya diri menyebalkan juga sih!

"Memang menurut kamu, saya akan tertarik karena hartamu?"

"Tidak. Kamu bukan tipe seperti itu, saya tahu. Kamu tidak mengharap harta dari pasangan kamu, tapi justru karena itu saya merasa kalau saya harus bisa memenuhi kebutuhan kamu tanpa kamu harus meminta."

"Selama ini kamu mendekati wanita, banyak wanita malah kata Cia. Kenapa saya yang kamu kenalkan dengan Ibu?"

"Karena hati saya bilang kamu orang yang tepat. Dan saya rasa, saya tidak salah. Ketika kembali berkomunikasi dengan kamu, saya merasa ada yang berbeda dengan diri saya. Saya merasa kamu akan cocok dengan Ibu, dan melihat sosokmu, saya tidak keberatan jika kamu memang orang yang akan mendampingi saya."

"Bagaimana kalau saya yang keberatan?"

"Itu hak kamu. Tapi saya akan tetap mencoba membuat kamu tidak keberatan."

"Bagaimana kalau ternyata saya juga tidak keberatan?"

"Itu rejeki saya. Berarti kita bisa memulai merencanakan segalanya mulai sekarang."

"Baik, kita mulai dari sekarang!"

🌸🌸🌸🌸

Dan begitulah caraku dan Heru memulai segalanya dua minggu lalu.

Katakan aku gila... Katakan aku nekat.. Aku juga tidak tau mengapa aku bisa seyakin itu mengambil keputusan untuk memulai cerita baru bersama Heru. Aku memang baru dua minggu ini bertemu lagi dengannya setelah sekian lama pada saat itu, tapi ada sebongkah keyakinan dalam hatiku yang mengatakan bahwa dia sosok yang tepat. Aneh? Iya!!! Aku pun merasa begitu.

Apa aku jatuh cinta dengannya? Entahlah, mungkin saja. Aku hanya merasa cara Heru berpikir sejalan denganku dan kurasa itu awal yang baik ketika memulai suatu hubungan. Dua minggu terakhir ini aku seperti remaja kasmaran yang bangun pagi dengan senyuman hanya karena sebuah pesan.

"Sudah sholat? Saya harap sudah. Terimakasih karena hadirmu saya jadi semakin rajin merayu Tuhan agar kita dilancarkan"

🌸🌸🌸🌸


Minggu ini bakery sedang banyak sekali pesanan, aku jarang sekali meminta karyawanku untuk lembur, tapi kali ini hampir tiap hari kami harus lembur. Jam sepuluh malam kami baru selesai mengerjakan kue yang akan diambil besok pagi. Seluruh karyawan sudah pulang dan aku pun sudah siap untuk pulang. Tiba-tiba handphone ku yang kuletakkan di meja sejak tadi siang berbunyi. Kulihat layarnya, ada 6 missed calls dari Mama, 8 dari Papa, dan 4 dari rumah. Tidak biasanya sebanyak ini. Aku bergegas pulang, khawatir ada apa-apa dengan mereka. Lalu sebuah pesan masuk.

Heru Baskoro:
Saya tadi ke rumahmu.
Kamu belum pulang.

Aku mengerutkan dahi.

Me:
Iya, banyak pesanan.
Ada apa?

Heru Baskoro:
Saya cuma ingin ketemu.

Me:
Kenapa gak ke bakery?

Heru Baskoro:
Oh itu... Memang bukan mau ketemu kamu.

Aku memanyunkan bibirku kesal. Pria ini, terlalu jujur atau bagaimana sih!! Setidaknya bermanis kata sedikitlah.

Heru Baskoro:
Tapi kalau tadi bisa ketemu kamu, saya pasti senang sekali.
Saya tidak mungkin menolak rejeki untuk bertemu kamu.

Me:
Terus mau ketemu siapa?

Heru Baskoro:
Papa Mama kamu.
Kenalan sama mereka.
Terus minta restu.

Dhegg!!! Aku bahkan belum pernah bercerita apapun tentang Heru ke mereka.

Me:
Kenapa gak tunggu saya?

Heru Baskoro:
Kemalaman nanti.

Me:
Bukan itu.
Kenapa gak bareng saya kenalannya?

Heru Baskoro:
Lho? Mereka kan orang tua kamu.
Masa kamu mau kenalan juga?

Ya Tuhaaan!!! Heruuuu!!!! Aku tidak sabar mendengar ceritanya. Chatting begini bisa membuatku mati penasaran. Lalu ku telpon dia.

"Ya, Ran?"

"Maksud saya kenapa gak tunggu saya ngenalin kamu?"

Aku langsung mencecar Heru tanpa basa-basi lagi.

"Saya kan sudah bukan anak kecil. Masa mau kenalan harus ditemani? Saya bisa sendiri kok!"

"Tapi saya belum pernah cerita apa-apa tentang kamu.. apalagi tentang kita"

"Makanya saya datang dan ceritakan semua."

"Semuaaa???"

"Iya. Dan saya minta izin buat serius sama kamu. Saya tau pasti menurut kamu ini masih terlalu awal, tapi saya merasa kita bukan lagi anak remaja yang mau main-main. Saya merasa perlu meminta izin agar semua jelas dari awal."

"Terus respon mereka?"

"Baik. Mereka menyerahkan semua ke kita berdua. Berarti saya punya tugas besar setelah ini."

"Apa?"

"Meyakinkan kamu!"

ForgivenDove le storie prendono vita. Scoprilo ora