[17] Perihal Keluarga

1K 809 41
                                    

Sungguh ini bukan salahmu, ini salahku karena telah berharap pada seseorang yang tidak mengharapkanku.

Shely merebahkan diri di kamarnya melepas penat yang terus saja memberatkan pikirannya. Baru saja ia nyaris larut dalam lelap, tiba-tiba saja kantuknya mendadak lesap begitu nyaring dering ponselnya bersorak-sorak meminta untuk lekas diangkat. Dengan helaan napas panjang, Shely bangkit dari tepi kasurnya lalu meraih ponsel miliknya, kasar.

Begitu menatap layar ponselnya, ia tertegun sejenak, tak percaya menatap nama yang tertera di sana. "Mama?" Ia menggigit bibirnya ragu. Kenapa ibunya tiba-tiba menelepon? Apa bisa ia mengabaikan panggilan ibunya seperti ibunya mengabaikannya? Ia menghela napas gusar sebelum jarinya akhirnya tergerak untuk menggeser layar ponselnya, menerima panggilan itu. "Halo!"

"Halo, Nak!" Suara seorang wanita paruh baya menyahut di seberang sana. Shely menelan ludahnya susah payah. Suara itu benar-benar suara ibunya. Sungguh, ia benar-benar rindu akan pemilik suara itu, namun di sisi lain, rasa benci juga seketika menyelinap membungkus rindunya.

"Kenapa, Ma? Kenapa lagi? Apa Mama belum ngerasa cukup buat nyakitin Shely?" ketusnya dengan wajah datar, membiarkan amarah yang sejak dulu tertahan, mendominasi perasaannya.

"Tolong jangan bilang kayak gitu, Nak! Soal itu Mama benar-benar minta maaf, tapi kali ini Mama juga benar-benar minta tolong sama kamu, tolong jenguk Papa kamu sekarang yah!"

"Kenapa? Kenapa aku harus jenguk Papa? Papa dan Mama sama aja, enggak ada yang peduli sama aku. Bahkan mirisnya lagi, orang lain malah lebih peduli sama aku ketimbang orang tua aku sendiri. Kurang menyedihkan apa lagi aku ini, Ma? Kenapa kalian tega ninggalin aku kayak gini?" geram Shely, mendadak merasakan matanya yang mulai memanas.

"Iya, Mama tahu kalau Mama salah, tapi sekarang Papa kamu benar-benar ngebutuhin kamu, Nak. Papa kamu sekarang ngamuk, dari tadi dia terus-terusan neriakin nama kamu. Bukan orang lain, bukan juga Mama, cuma kamu Nak. Jadi tolong untuk kali ini aja, mau yah jenguk Papa kamu?" pinta ibunya terdengar begitu lembut dan tulus sekaligus. Shely terdiam, tak tahu harus merespons seperti apa. Namun, ia tak mau pikir panjang lagi. Cepat-cepat ia memutuskan sambungan teleponnya sepihak lalu tanpa mengulur waktu lagi, ia segera melangkahkan kakinya keluar mencari taksi.

Setibanya Shely di sana—Rumah Sakit Jiwa tempat papanya dirawat. Cepat-cepat ia merogoh ponsel dari saku celananya dan dengan lincah jarinya mencari nomor telepon ibunya lalu lekas memanggilnya.

"Halo, Nak," sahut ibu Shely cepat.

"Ruangan Papa di mana, Ma?" tanya Shely buru-buru dengan napas yang masih terengah-engah.

"Ya ampun Nak, kamu ... kamu beneran datang?" ucap ibu Shely terdengar tak percaya.

"Ruangan Papa di mana, Ma?" ulang Shely agak ketus, malas menanggapi basa-basi ibunya.

"Di ruangan nomor seratus sembilan, Nak."

"Oke, Shely ke situ sekarang." Cepat-cepat Shely menutup teleponnya lalu segera berlari mencari ruangan papanya.

Langkah Shely perlahan melambat begitu melihat wajah ibunya yang tersenyum tulus menatapnya. "Nak, makasih yah udah mau datang," sambut ibu Shely yang seketika melingkarkan tangannya memeluk Shely begitu cepat. Seketika Shely terpaku begitu saja merasakan sentuhan lembut yang mendadak menjalarkan hangat di hatinya itu. Setelah sekian lama ia tak merasakan pelukan seorang ibu, akhirnya ia memahami juga bagaimana rasanya. Tak dapat dipungkiri, kali itu ia sungguh merasa bersyukur.

Pelan-pelan Shely melepaskan pelukan ibunya. "Aku ke sini mau ketemu Papa, Ma. Bukan Mama. Jadi, enggak usah bersikap kayak gini sama aku karena ini udah terlalu lambat, Ma. Aku enggak bisa pura-pura baik-baik aja," ujarnya begitu dingin sembari lekas mengambil langkah, melalui ibunya begitu saja.

Knowing You [Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang