14. Luka Lama

Depuis le début
                                    

"Mas?" Radit menolehkan wajahnya saat dilihatnya istrinya yang masuk ke kamar mereka dengan kimono mandinya. Ia tersenyum tipis.

"Lagi apa, Mas? Ayo cepetan ke ruang makan! Ayah sama Abang udah nunggu." Radit hanya mengangguk. Ia mencoba untuk mencari alasan agar bagaimana permintaan putranya Senja bisa terpenuhi dan istrinya tak mengetahuinya agar tak menimbulkan salah paham lagi.

"Emmm..., tadi teman kuliahku sms, katanya dia mau ngajak ketemuan di kafe, dia mau ada perlu sama aku." bohongnya. Ia berharap istrinya tidak curiga. Nabila menatap suaminya meneliti.

"Cewek atau cowok?" Radit tersenyum tipis. Istrinya ternyata teliti juga.

"Cowok. Kamu tenang aja, gak usah takut aku bakalan selingkuh di belakang kamu." Nabila terlihat berpikir sejenak. Akhirnya, ia mengangguk. Ia percaya, Radit tak akan membohonginya.

"Yaudah, cepetan pulang, ya! Jangan lama-lama!" Radit tertawa pelan dengan sikap istrinya kepadanya yang seperti kepada anaknya saja yang masih kecil.

"Iya, sayang. Kamu lengket banget akhir-akhir ini sama aku. Tapi..., aku suka. Tiap malem, jatahku selalu terpenuhi dengan baik." Nabila mendengus.

"Urusan itu mulu yang dipikirin. Ayo cepetan sarapan! Takut kesiangan." Radit mengangguk. Lalu, ia segera berjalan keluar kamar meninggalkan istrinya yang sedang berganti baju untuk ikut bergabung di meja makan bersama ayah mertua dan kakak iparnya.

***

"Selamat, Bu! Sebentar lagi anda akan menjadi seorang ibu." Nabila membulatkan matanya tak percaya. Ia masih mencerna ucapan dokter barusan.

"A-apa..., itu benar, Dok?" tanyanya sekali lagi. Dokter itu tersenyum dan mengangguk.

"Iya, Bu. Usianya baru 3 minggu. Mohon dijaga dengan baik ya, Bu?!" Nabila tersenyum haru. Ia mengangguk. Setetes air mata meluncur di wajahnya. Ia meraba perutnya yang kini terdapat buah cintanya dengan suaminya. Ia mengangguk.

"Pasti, Dok. Terima kasih atas sarannya." dokter itu mengangguk.

Nabila keluar dari ruangan praktek dokter kandungan itu dengan wajah yang berbinar. Harapannya dan suaminya yang juga harapan ayah dan abangnya kini terkabul. Ia mengelus perutnya lembut.

"Mereka pasti akan senang mendengar kamu sudah ada di perut Bunda..., apalagi ayah kamu. Bunda udah gak sabar pengen cepet kasih kabar bahagia ini, Nak." ucapnya sambil mengelus-ngelus perutnya yang masih rata. Mulai sekarang, ia akan selalu memperhatikan gizi dan apa yang dimakannya untuk tumbuh kembang buah hatinya dalam rahimnya. Ia melihat sebuah kafe dan kebetulan ia belum makan siang. Ia ingin cepat-cepat untuk makan, karena kini di rahimnya ada nyawa lain yang bergantung hidup padanya.

"Kita makan siang dulu ya, sayang?! Kamu pasti udah laper banget." ucapnya sambil mengelus perutnya. Lalu, ia memutuskan untuk makan siang di kafe itu yang berada tak jauh dari sana. Sepulang sekolah tadi, ia langsung pergi menuju dokter kandungan untuk memastikan dugaannya saat ini dan terbukti, ia memang sedang mengandung sekarang. Ia sudah tak sabar ingin cepat menikmati hidangan saat ini yang terlihat sangat menggiurkan dalam benaknya, juga karena janinnya yang lebih membutuhkan asupan gizinya saat ini.

Ia memasuki ruangan kafe yang mulai dipenuhi oleh banyak pengunjung karena jamnya makan siang. Ia memilih untuk duduk di dekat jendela sambil mengamati pemandangan lalu lalang kendaraan dari jendela.

"Mau pesen apa, Mbak?" tanya seorang pelayan kepadanya. Nabila terlihat berpikir sebentar sambil meneliti buku menu yang disodorkan ke arahnya.

"Hmmm..., nasi goreng seafood, kentang goreng sama jus jeruknya aja." pelayan itu mengangguk dan berlalu setelah mencatat pesanannya. Ia mengirim pesan pada suaminya untuk sekedar mengingatkan makan siangnya. Tak lama, pesanannya datang. Ia tersenyum sambil mengelus pelan perutnya.

The Wildest DreamOù les histoires vivent. Découvrez maintenant