A Letter : Kebohonganku di Bulan November

1.1K 94 127
                                    

Kepada Raafi Azkadipta,

Rasanya aneh menulis surat untuk orang yang kebetulan terlalu sering lewat di dalam kehidupan masa mudamu. Ah ya, maaf sebelumnya karena ini jadi seperti yang ada di salah satu anime.

Pertama kali aku mengenalmu, itu gara-gara Kak Faza yang memindahkan tempat dudukku jadi ke sebelahmu. Kalau kau ingat, waktu itu aku yang pertama kali menyapamu karena pada awalnya aku berniat pinjam catatanmu dengan alasan tidak bawa kacamata. Padahal, pada kenyataannya aku belum beli kacamata sama sekali. Setelah itu, kita malah bertemu di ekskul yang sama sepulang sekolah. Pada awalnya, kupikir kau bukan orang yang minat dengan hal-hal seperti ya ... wibu world. Nyatanya, kau Raja Wibu!

Raja wibu yang menyebalkan, seenaknya, tak tahu diri, keras kepala, dan rasanya selalu saja membuatku naik darah. Selain itu, tulisanmu juga sangat-sangat buruk. Bahkan saat pertama kali kupinjam catatanmu, rasanya ingin kusemprot habis-habisan kalau aku tak tahu diri. Maksudku, aku pinjam catatanmu agar lebih jelas dari yang di papan tulis. Tapi ... ini bahkan lebih buruk dari yang aku bayangkan. Lol, imej-mu langsung rusak di hari pertama kita kenal. Aku bahkan tak sadar kalau kau jadi bahan gosip para siswi di sekolah. Dan aku gak pernah paham sama otak fans-mu itu.

Di sisi lain, kau itu orangnya terlampau baik. Ah, andai saja mulutmu yang menyebalkan itu bisa disumpal sedikit. Tapi ya, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Meski dari luar kau terlihat bisa apapun. Kenyataannya, banyak sekali hal-hal buruk yang ada padamu. Sangaaaaat banyak!

GJUI tahun 2015. Itu festivalku yang pertama kalinya. Hari itu pula, hari yang membuatku kesal setengah mati padamu. Buruk, menjijikan, dan menjijikan! Aku tidak salah mengulang kata itu dua kali. Maksudku, di mana letak kewarasanmu saat itu? Pergi ke festival yang cukup besar pakai baju olahraga kemarin dan belum mandi setelah kau menginap semalaman di sekolah. Gila, kau benar-benar gila! Tapi aku takkan mengelak kalau hari itu sangatlah menyenangkan. Sejujurnya, aku kabur dari rumah hari itu.

Lalu, ingatkah saat acara makan bersama ekskul kita di tempat yang kini dekat dengan kampusku? Di situ, untuk pertama dan terakhir kalinya kau memboncengku saat SMA. Lagi dan lagi, kau memang tidak waras, ya! Caramu bawa motor itu benar-benar membuatku merinding karena takut jatuh ke aspal-aspal panas di bawah.

Jangan lupakan tentang para junior yang menanyakan padaku tentangmu, lalu teman-temanmu yang selalu saja mencarimu padaku. Hell, aku bukan ibumu tau! Lalu saat kau sakit, pada akhirnya aku yang ditanya. Dan hal-hal lain yang terus menyatukan kita dalam ruang lingkup yang sama kemudian tanpa sadar terus terpatri di dalam ingatanku. Dan di situ juga, aku terus menerus membohongi diriku sendiri.

Tentu kau tahu kalau anak-anak itu berulang kali memojokkan perasaanku padamu. Tapi dengan keras kepalanya, aku selalu mengelak kuat-kuat. Bersikap sinis dan dingin sebagai bentuk pertahananku.

Di sisi lain, diriku yang ke-dua malah membantah dan terus mendorongku untuk mengakuinya. Tapi ia kalah kuat. Ia kalah dengan persepsi egois milikku yang mengatakan kalau aku masih menyukai teman kecilku yang juga senior kita saat kelas 10. Dan hal itu diperkuat oleh perkataan seseorang yang mengatakan, "Enaknya jadi sepertimu. Kau bisa peduli dengan orang lain tanpa jatuh cinta terlebih dahulu."

Namun sekarang, setelah semua ini terjadi. Aku tahu apa jawabannya.

Maaf karena aku kasar, jutek, dan seringkali bersikap dingin padamu. Entah kenapa rasanya aneh untuk menunjukkan sisi lainku. Kau tahu? Itu bikin merinding dan sangat menggelikan. I'm a tsundere. Kali ini gak akan aku sangkal. Gengsiku terlalu tinggi sebelum terkena skak orang yang aku sukai. Dan skak terbesar dalam hidupku adalah ke―pergi―berangkatanmu seminggu lalu.

Kalau bukan karena ocehan, omelan, dan paksaan dari teman-temanku, aku tak akan mengirimkan pesan padamu waktu itu. Di sisi lain, aku juga tak ingin menyesal. Kuturunkan egoku yang tinggi itu dengan mengirim beberapa pesan yang terkesan terpaksa. Aku ragu dan takut kalau kau akan mengira aku terlalu ikut campur. Karenanya, kuturunkan egoku dengan mengirim pesan yang terdengar seenaknya itu. Sejujurnya aku tahu kau akan pergi sejak postinganmu di H-10 yang membuatku curiga. Ya, akhirnya kucari info kemana kau akan pergi dan ... aku malah menangis setelah tahu kenyataannya.

Dan sampai hari keberangkatanmu. Sejujurnya aku masih berharap bisa bertemu denganmu. Kenyataannya, sekuat apapun aku berlari. Waktu bergerak lebih cepat. Aku terlambat dan kau tak dapat kutemui.

Ingat foto kelas yang kuunggah beberapa hari lalu? Itu kuambil hari Sabtu. Hari di mana kau juga datang ke tempat itu. Waktu itu Lita yang bilang agar aku datang. Tapi karena terlalu banyak hambatan di jalan, aku benar-benar terlambat. Suatu hari, kalau kau mau dengar, aku akan menceritakannya. Itu pun kalau kita berjumpa di saat yang pas. Kalau tak bisa kuceritakan, aku yakin kalau kau akan tahu kenyataannya sendiri.

Tentang kata-kata yang kukirim di LINE soal tantanganku untuk siapa yang sampai ke Jepang terlebih dulu. Itu adalah sebuah kebohongan. Ah, berapa banyak kebohongan di sini?

Sejujurnya, itu hanya ucapanku yang menyiratkan agar kau cepat kembali dan menyelesaikan studimu di sana. Aku hanya ingin bisa segera bertemu denganmu. Payah, ya? Ini benar-benar seorang Firza yang menulis, kok. Iya, Firza yang rada songong itu. Tapi aku tak main-main untuk ke Jepang mengalahkanmu, aku akan benar-benar ke sana. Tujuan kita ... sama, bukan?

Raafi, aku bersyukur bisa mengenalmu. Kuharap kau juga begitu. Tolong jangan pernah lupakan aku. Sekali pun nanti ada yang menjual tombol untuk me-restart ingatan. Jangan membeli dan menekannya, ya! Walau sedikit, tolong ingatlah aku.

Maaf karena aku suka bicara seenaknya, tiba-tiba memarahimu, kekanakan, berisik, sok tahu, dan keras kepala. Maaf juga karena sering merepotkanmu, maaf karena aku seringkali menghina tulisanmu di depan anak-anak―tapi itu memang kenyataan, maaf karena pada akhirnya aku malah menyukaimu sama seperti gadis-gadis itu. Maaf karena aku menghilangkan surat yang harusnya kuberikan saat kelulusan. Lagi, maaf karena aku malah memberikan fotomu pada junior dan ia malah membayarku dengan sebatang cokelat, aku benar-benar tidak tega. Terlebih, maaf karena dengan lancangnya mengingat semua itu. Maaf, maaf, maaf, dan terima kasih atas segalanya.

P.S : Kuharap kau tidak tertawa atau membenciku setelah membaca ini.

Regards

Firza Anindhita

AFTEARS [END]Where stories live. Discover now